Jangan
tergesa-gesa menilai seseorang hanya dari bentuk lahiriah saja. Pesan
penting ini diucapkan oleh lisan bayi yang masih menyusui.
Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Al-Bukhari dan
Muslim melalui shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah berkisah
tentang tiga bayi yang bisa berbicara dan bercakap-cakap di masa Bani
Israil. Inilah kuasa dan tanda kebesaran Allah. Bisu dan bicara adalah
hak Allah untuk menentukannya pada makhluk. Binatang dan benda-benda
mati pun mampu berbicara dengan izin dari Allah.
Selain
Nabi Isa ‘Alihissallam dan bayi yang dilahirkan seorang wanita nakal
lalu dituduhkan sebagai anak Juraij -seorang ahli ibadah terkenal- ,
masih ada lagi bayi yang dikisahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mampu bercakap-cakap dengan ibunya. Jangan heran! Allah maha
mampu untuk melakukan apa saja.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bertutur bahwa dahulu kala, seorang ibu sedang
menyusui anaknya. Tidak lama berselang, melintaslah seseorang yang
mengendarai seekor kuda. Gagah dan kuat. Pakaiannya pun terlihat mewah
dan mahal. Langsung saja sang ibu mengatakan, “Ya Allah, jadikanlah
putraku ini kelak seperti orang itu.”
Seketika itu
juga, putranya yang masih bayi berhenti menyusu lalu melihat dan
memperhatikan orang tersebut. Apa kata si bayi? “Ya Allah, janganlah
Engkau jadikan diriku seperti orang itu.” Setelah itu ia kembali
menyusu.
Beberapa saat berikutnya, nampak terlihat
seorang gadis sedang dipukuli oleh sekelompok orang sambil mereka
berteriak, “Dasar Pelacur! Dasar pencuri!” Sementara sang gadis hanya
mengucapkan, “Hasbiyallah wa ni’mal wakil” Melihat kejadian tersebut,
sang ibu berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan putraku seperti
gadis itu.”
Mendengar doa sang ibu, bayi itu berhenti
menyusu lalu melihat dan memperhatikan kondisi si gadis yang sedang
dipukuli. Apa kata si bayi ? “Ya Allah, jadikanlah diriku seperti gadis
itu.”
Sang ibu heran dan terkejut! Lalu terjadilah sebuah percakapan ringan antara ibu dan anak.
“Aneh!
Saat orang gagah itu lewat melintas, aku mengatakan, ‘Ya Allah
jadikanlah putraku kelak seperti orang itu.’ Kenapa engkau malah
mengatakan, ‘Ya Allah, janganlah Engkau jadikan diriku seperti orang
itu.’ Berikutnya, ketika orang-orang itu menggiring seorang gadis sambil
dipukuli dan diteriaki ‘Dasar pelacur! Dasar pencuri!’ aku mengatakan,
‘Ya Allah, janganlah Engkau jadikan putraku seperti gadis itu.’ Kenapa
engkau malah mengatakan, ‘Ya Allah, jadikanlah diriku seperti gadis
itu,’?” tanya sang ibu.
Putranya yang masih bayi
menyusui lalu menjelaskan, “Orang gagah itu adalah seorang yang sombong
dan congkok. Oleh sebab itu, aku berdoa, ‘Ya Allah, janganlah Engkau
jadikan diriku seperti orang itu.’ Gadis itu dituduh berzina padahal ia
tidak melakukannya. Gadis itu dituduh mencuri padahal ia tidak
melakukannya. Oleh sebab itu, aku berdoa, ‘Ya Allah, jadikanlah aku
seperti gadis itu (yang selamat dari maksiat).”
Subhanallah!
Kisah mengagumkan!
Ia
selalu bersedekah, membantu yang tidak mampu, menymbangkan harta dan
selalu disebut-sebut sebagai seorang dermawan. Padahal ia selalu
mengungkit-ungkit semua yang pernah ia berikan.
Wajahnya cantik
rupawan atau gagah menyenangkan. Tidak ada cacat barang setitik. Selalu
menjadi lambang dan buah bibir orang-orang. Sayang, hatinya jahat dan
penuh kedengkian.
Tinggi kedudukan dan jabatannya. Ia
dipuja dan disanjung sebagai seorang tokoh ternama. Hanya sedikit yang
tidak mengenalnya. Hanya saja, semua itu ia peroleh dengan cara-cara
lotor dan curang.
Pakaiannya agamis. Cara berbicara dan tutur
katanya begitu sopan. Masjid tidak pernah ia tinggalkan. Tanda-tanda
ibadah nampak di wajahnya. Ternyata, hatinya dipenuhi dengan riya’ dan
sum’ah. Na’udzu billah min dzalik.
Alangkah tentramnya
kehidupan seorang hamba yang bertaqwa dan selalu merasa cukup, qana’ah.
Hidupnya tidak dikenal oleh banyak orang. Ia sibuk dengan ibadah kepada
Allah dan menggembalakan kambing di lereng-lereng bukit. Ia benci
popularitas. Ia benci germelap dunia. Ia tidak suka kedudukan dan
sanjungan. Hanya Allah tujuannya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menggambarkan kedekatannya kepada Allah:
“Tidak
sedikit hamba yang tubuhnya diselimuti debu. Ia diusir dari pintu ke
pintu. Padahal, seandainya ia bersumpah dengan nama Allah, pasti Allah
akan wujudkan sumpahnya.” [H.R. Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu].
Sungguh! Biarlah hina di mata manusia, asalkan
mulia dan terpandang di sisi Allah. Apa senangnya menjadi hamba yang
dibenci Allah, walaupun disanjung dan dipuji manusia. Janganlah
terburu-buru menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya. Barangkali
orang yang anda pandang hina dan rendah, jauh lebih mulia di sisi
Allah.
Malulah Kepada Allah.. Janganlah Riak.. Minta Disanjung Dan Dipuja Manusia..
Setiap orang mempunyai nafsu. Ia adalah kurniaan Allah yang bersifat fitrah sebagai pelengkap kepada unsur kemanusiaan di samping akal. Dengan nafsu kita dapat makan dan minum, melakukan itu dan ini memakmurkan bumi, malah beranak pinak. Sebab itu, jika manusia tiada nafsu untuk makan, ini menunjukkan petanda buruk.

Friday, 7 July 2017
Monday, 29 May 2017
Hentikan Celaan, Jaga Kehormatan Sesama Muslim
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menutup pembahasan akidah dalam risalahnya yang terkenal “Al Aqiidah al Waasithiyyah” dengan fasal yang membahas tentang akhlak yang mulia. Ini menunjukkan, bahwa seharusnya akhlak yang mulia menjadi karakter kuat yang ada pada diri para penganut akidah yang lurus. Maka sungguh ironis, jika ada orang yang mengaku bermanhaj dan berakidah lurus, namun ternyata akhlaknya buruk; gemar mencela, merendahkan, menghina dan suka memberi gelar-gelar buruk kepada sesama.
Belakangan ini, keindahan manhaj salaf yang mulia ini kembali tercoreng karena sepak terjang sosok-sosok para pencela. Ajaibnya mereka menjadikan celaan sebagai agama. Tidak peduli kehormatan saudaranya terhina, gelar-gelar buruk dan caci maki sangat ringan di lisan mereka. Padahal, mencela dan menjatuhkan kehormatan orang lain sangat bertentangan dengan syariat. Kehormatan adalah satu dari lima dasar kebutuhan primer (al kulliyaatu al khams) manusia yang dijaga keutuhannya oleh syariat. Diantaranya dengan diharamkannya perbuatan mencela dan menghina sesama.
Larangan Mencela
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian..” (HR Bukhari Muslim)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujarat [49]: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya kekufuran.” (HR Bukhari Muslim)
Celaan adalah bentuk menyakiti sesama. Syariat pun melarang perbuatan menyakiti orang lain.
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab [33]: 58)
Celaan dan hinaan semakin besar jika ia berupa tuduhan kepada seseorang dalam hal agamanya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالفِسْقِ أَوِ الكُفْرِ ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كذَلِكَ
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekufuran, melainkan akan kembali kepadanya tuduhan tersebut jika yang dituduhnya tidak demikian.” (HR Bukhari)
Dalam rangka mencegah perbuatan buruk ini, syariat juga menetapkan bahwa orang yang pertama mencela lebih besar dosanya dari dua orang yang saling mencela.
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
“Dua orang yang saling mencela, maka dosa yang dikatakan keduanya akan ditanggung oleh orang yang pertama kali memulai, selama yang terzalimi tidak melampuai batas.” (HR Muslim)
Sebagaimana menyakiti orang lain dengan tangan dilarang oleh syariat, begitu pun kezaliman dengan lisan juga dilarang. Semakin seorang muslim jauh dari perbuatan tercela tersebut, akan semakin tingginya derajatnya dalam Islam.
Ketika Rasulullah ditanya siapakah muslim yang utama, beliau menjawab, “Yaitu orang yang selamat kaum muslimin dari tangan dan lisannya.” (HR Bukhari Muslim) (Lihat “Maqaashidu Asy Syarii’ah Al Islaamiyyah fil Muhaafadzah ‘alaa Dharuurati al ‘Ardh”, hal. 23-25, Karya Syaikh Dr. Sa’ad Asy Syatsry)
Mencela Karena Benar dan Ada Maslahat
Para ulama mengatakan, larangan mencela dalam dalil-dalil yang umum diatas dikecualikan jika orang yang dicelanya memang benar-benar memiliki sifat-sifat tercela dan terdapat maslahat di dalam mencelanya. Mari kita simak penjelasan al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berikut,
“Hadis ini (larangan menuduh fasik dan kafir) menunjukkan barang siapa yang berkata kepada orang lain “engkau fasik” atau “engkau kafir”, jika orang tersebut tidak demikian, maka yang berkata lebih berhak dengan sifat-sifat tersebut. Namun jika demikian keadaannya, sifat tersebut tidak kembali kepada si penuduh, karena berarti ia benar dalam perkataannya.
Akan tetapi, tidak menjadi fasik dan kafir bukan berarti ia bebas dari dosa dengan kata-katanya “engkau fasik” atau “engkau kafir”. Karen daalam permasalahan ini ada rinciannya. Jika ia bermaksud untuk menasehatinya atau menasehati orang lain dengan menjelaskan keadaannya, hal itu dibolehkan. Namun jika ia bermaksud untuk sekedar mencemooh, menebar keburukannya dan sekedar menyakitinya, maka hal itu tidak boleh. Karena yang diperintahkan (pada asalnya) adalah menutupi aibnya, mengajarkannya dan menasehatinya dengan cara yang baik. Selama hal itu dapat dilakukan dengan cara yang lembut, tidak boleh baginya melakukan itu dengan cara kasar. Karena itu akan menjadi sebab ia semakin menjadi-jadi dan terus dalam perbuatan itu, sebagaimana tabiat kebanyakan manusia yang kerap menjaga gengsinya. Apalagi jika orang yang memerintahnya (menasihatinya) lebih rendah kedudukannya dari orang yang diperintah (dinasehati). (Lihat Fathu al Baary: 10/381, Cet. al Maktabah as Salafiyyah)
Namun hendaknya diperhatikan, bahwa pengecualiaan ini tidak seharusnya dijadikan pokok. Pengecualian adalah pengecualian yang hanya dilakukan dalam kondisi dan situasi tertentu.
Pertama, dalam orang yang dicela memang benar-benar terdapat sifat tercela. Maka, ia tidak boleh mencela sebelum ia memastikan bahwa:
(1) Yang dilakukan oleh orang tersebut adalah benar-benar perbuatan tercela, dan
(2) Perbuatan itu benar-benar terjadi kepada orang tersebut.
Kedua, dengan mencelanya akan mendatangkan maslahat, baik untuk orang yang dicela atau dalam rangka menjelaskan kepada manusia keadaan buruk orang yang dicelanya. Maka, ia tidak boleh mencela sebelum ia benar-benar memastikan bahwa dengan mencelanya akan menimbulkan kemaslahatan, bukan malah mendatangkan mafsadah lebih besar. Oleh karena itu, Allah melarang umat Islam mencela sesembahan-sesembahan orang musyrik, jika dengan mencelanya akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar sehingga orang-orang musyrik mencela Allah.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’aam [6]: 108)
Menyoal Kenyataan
Kenyataannya, para pencela yang mengatasnamakan agama dan “manhaj murni” itu kerap tidak mengindahkan aturan pengecualian diatas. Mereka sering kali mencela tanpa tastabbut dan tabayyun dalam hal benar atau tidaknya perbuatan tercela itu dilakukan orang yang menjadi objek celaannya. Jika pun perbuatan yang membuat ia mencela benar-benar dilakukan, maka sering kali mereka juga mencela karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan. Seperti mencela karena permasalahan yang masih dalam lingkup ijtihadiyyah. Padahal, dalam ilmu jarh wat ta’dil pun, celaan (jarh) tidak boleh dilakukan karena permasalahan ijtihadiyyah yang diperbolehkan.
Abu Hatim Ar Razy berkata, “Aku menyebut orang-orang yang meminum nabidz (arak dari kurma) dari kalangan ahli hadis Kufah, aku menyebut beberapa diantara mereka kepada Ahmad bin Hanbal.” Beliau berkata, “Ini adalah kesalahan mereka. Akan tetapi tidak gugur keadilan mereka disebabkan karena kesalahan mereka ini.” (Al Jarh wat Ta’diil: 2/26 dinukil dari al Khabar al Tsabit, hal. 17 Maktabah Syamilah)
Nabidz adalah arak yang terbuat dari kurma. Jumhur ulama mengatakan bahwa ia hukumnya sama dengan khamr. Tidak demikian dengan orang-orang Kufah, mereka memiliki ijtihad tersendiri dalam masalah ini, mereka tidak menganggapnya sebagai khamr. Imam Ahmad mengatakan bahwa menjarh (mencela) ahli hadis Kufah karena mereka minum nabidz tidak boleh, karena mereka terjerumus dalam kesalahan ini disebabkan ijtihad mereka, bukan karena hawa nafsu.
Mari kita simak nukilan-nukilan berikut dari kitab “al Qaulu asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa.” :
Sufyan Ats Tsaury berkata, “Jika engkau melihat seseorang mengamalkan suatu amalan yang diperselisihkan, sementara engkau berpendapat yang lain, maka jengan engkau larang ia.” (Hilyatul Auliyaa: 6/368)
Khatib al Baghdady juga meriwayatkan dari Sufyan bahwa ia berkata, “Apa yang diperselisihkan para ulama fikih maka aku tidak melarang seorang pun dari ikhwanku untuk mengambilnya.” (al Faqiih wal Mutafaqqih: 2/69)
Yahya bin Sa’id berkata, “Para mufti terus berfatwa menghalalkan ini dan mengharamkan itu. Yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena menghalalkannya, dan yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena mengharamkannya.” (Jaami’ Bayaan al Ilmi wa Fadhlihi: 2/902-903)
Imam Nawawi berkata, “Kemudian para ulama hanya mengingkari permasalahan yang diijmakkan, adapun yang diperselisihkan, maka tidak ada pengingkaran.” (Syarh An Nawawi ‘alaa Muslim: 2/23)
As Suyuthi menyebutkan sebuah kaidah dalam masalah ini dan berkata, “Masalah yang diperselisihkan tidak diingkari, yang diingkari adalah yang diijmakkan.” (Al Asybaah wa An Nadzaa`ir: 107)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Permasalahan-permasalahan ijtihad, orang yang beramal di dalamnya dengan pendapat sebagian para ulama, maka tidak diingkari dan tidak dihajr (boikot).” (Majmuu’ al Fatawa: 20/207)
Beliau juga berkata, “Permasalahan-permasalahan ijtihadiyyah seperti ini tidak diingkari dengan tangan dan tidak boleh bagi seorang pun mengharuskan orang lain untuk mengikutinya dalam masalah tersebut. Ia hanya boleh berbicara dengan argumentasi ilmiah. Bagi yang jelas untuknya benarnya salah satu pendapat, maka ia ikuti. Dan bagi yang taklid kepada pendapat yang lain, maka tidak ada pengingkaran untuknya.” (Majmuu’ al Fatawa: 30/80)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Jika permasalahan tersebut adalah ijmak, maka tidak ada perselisihan (dalam mengingkarinya), adapun dalam masalah-masalah ijtihad, kalian mengetahui bahwa tidak ada pengingkaran bagi orang yang menempuh ijtihad.” (Ad Durar As Saniyyah: 1/43, Lihat nukilan-nukilan yang lain di “al Qaulu asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa”, hal. 35-41)
Catatan: Tentu yang dimaksud adalah masalah ijtihadiyyah yang dibolehkan, yang tidak bertentangan dengan ijmak dan dalil yang sharih (jelas penunjukkannya). Masalah ijtihadiyyah juga boleh dibahas dan dijelaskan kelemahan salah satu pendapatnya, tanpa mencela orang yang mengambil pendapat tersebut.
Jika pun seseorang benar-benar terjatuh pada kesalahan yang nyata, maka perlu juga diingat bahwa mencela dan menjatuhkan kehormatan adalah cara paling terakhir dan dilakukan dengan pertimbangan matang atas maslahat yang diharapkan. Jika tidak, maka tetap cara yang ditempuh adalah nasehat dengan lembut sebagai pokok atau asal.
Mudah-mudahan Allah menjaga kita semua dari buruknya akhlak, kesesatan dan kelemahan.
Belakangan ini, keindahan manhaj salaf yang mulia ini kembali tercoreng karena sepak terjang sosok-sosok para pencela. Ajaibnya mereka menjadikan celaan sebagai agama. Tidak peduli kehormatan saudaranya terhina, gelar-gelar buruk dan caci maki sangat ringan di lisan mereka. Padahal, mencela dan menjatuhkan kehormatan orang lain sangat bertentangan dengan syariat. Kehormatan adalah satu dari lima dasar kebutuhan primer (al kulliyaatu al khams) manusia yang dijaga keutuhannya oleh syariat. Diantaranya dengan diharamkannya perbuatan mencela dan menghina sesama.
Larangan Mencela
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian..” (HR Bukhari Muslim)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujarat [49]: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya kekufuran.” (HR Bukhari Muslim)
Celaan adalah bentuk menyakiti sesama. Syariat pun melarang perbuatan menyakiti orang lain.
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab [33]: 58)
Celaan dan hinaan semakin besar jika ia berupa tuduhan kepada seseorang dalam hal agamanya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالفِسْقِ أَوِ الكُفْرِ ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كذَلِكَ
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekufuran, melainkan akan kembali kepadanya tuduhan tersebut jika yang dituduhnya tidak demikian.” (HR Bukhari)
Dalam rangka mencegah perbuatan buruk ini, syariat juga menetapkan bahwa orang yang pertama mencela lebih besar dosanya dari dua orang yang saling mencela.
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
“Dua orang yang saling mencela, maka dosa yang dikatakan keduanya akan ditanggung oleh orang yang pertama kali memulai, selama yang terzalimi tidak melampuai batas.” (HR Muslim)
Sebagaimana menyakiti orang lain dengan tangan dilarang oleh syariat, begitu pun kezaliman dengan lisan juga dilarang. Semakin seorang muslim jauh dari perbuatan tercela tersebut, akan semakin tingginya derajatnya dalam Islam.
Ketika Rasulullah ditanya siapakah muslim yang utama, beliau menjawab, “Yaitu orang yang selamat kaum muslimin dari tangan dan lisannya.” (HR Bukhari Muslim) (Lihat “Maqaashidu Asy Syarii’ah Al Islaamiyyah fil Muhaafadzah ‘alaa Dharuurati al ‘Ardh”, hal. 23-25, Karya Syaikh Dr. Sa’ad Asy Syatsry)
Mencela Karena Benar dan Ada Maslahat
Para ulama mengatakan, larangan mencela dalam dalil-dalil yang umum diatas dikecualikan jika orang yang dicelanya memang benar-benar memiliki sifat-sifat tercela dan terdapat maslahat di dalam mencelanya. Mari kita simak penjelasan al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berikut,
“Hadis ini (larangan menuduh fasik dan kafir) menunjukkan barang siapa yang berkata kepada orang lain “engkau fasik” atau “engkau kafir”, jika orang tersebut tidak demikian, maka yang berkata lebih berhak dengan sifat-sifat tersebut. Namun jika demikian keadaannya, sifat tersebut tidak kembali kepada si penuduh, karena berarti ia benar dalam perkataannya.
Akan tetapi, tidak menjadi fasik dan kafir bukan berarti ia bebas dari dosa dengan kata-katanya “engkau fasik” atau “engkau kafir”. Karen daalam permasalahan ini ada rinciannya. Jika ia bermaksud untuk menasehatinya atau menasehati orang lain dengan menjelaskan keadaannya, hal itu dibolehkan. Namun jika ia bermaksud untuk sekedar mencemooh, menebar keburukannya dan sekedar menyakitinya, maka hal itu tidak boleh. Karena yang diperintahkan (pada asalnya) adalah menutupi aibnya, mengajarkannya dan menasehatinya dengan cara yang baik. Selama hal itu dapat dilakukan dengan cara yang lembut, tidak boleh baginya melakukan itu dengan cara kasar. Karena itu akan menjadi sebab ia semakin menjadi-jadi dan terus dalam perbuatan itu, sebagaimana tabiat kebanyakan manusia yang kerap menjaga gengsinya. Apalagi jika orang yang memerintahnya (menasihatinya) lebih rendah kedudukannya dari orang yang diperintah (dinasehati). (Lihat Fathu al Baary: 10/381, Cet. al Maktabah as Salafiyyah)
Namun hendaknya diperhatikan, bahwa pengecualiaan ini tidak seharusnya dijadikan pokok. Pengecualian adalah pengecualian yang hanya dilakukan dalam kondisi dan situasi tertentu.
Pertama, dalam orang yang dicela memang benar-benar terdapat sifat tercela. Maka, ia tidak boleh mencela sebelum ia memastikan bahwa:
(1) Yang dilakukan oleh orang tersebut adalah benar-benar perbuatan tercela, dan
(2) Perbuatan itu benar-benar terjadi kepada orang tersebut.
Kedua, dengan mencelanya akan mendatangkan maslahat, baik untuk orang yang dicela atau dalam rangka menjelaskan kepada manusia keadaan buruk orang yang dicelanya. Maka, ia tidak boleh mencela sebelum ia benar-benar memastikan bahwa dengan mencelanya akan menimbulkan kemaslahatan, bukan malah mendatangkan mafsadah lebih besar. Oleh karena itu, Allah melarang umat Islam mencela sesembahan-sesembahan orang musyrik, jika dengan mencelanya akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar sehingga orang-orang musyrik mencela Allah.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’aam [6]: 108)
Menyoal Kenyataan
Kenyataannya, para pencela yang mengatasnamakan agama dan “manhaj murni” itu kerap tidak mengindahkan aturan pengecualian diatas. Mereka sering kali mencela tanpa tastabbut dan tabayyun dalam hal benar atau tidaknya perbuatan tercela itu dilakukan orang yang menjadi objek celaannya. Jika pun perbuatan yang membuat ia mencela benar-benar dilakukan, maka sering kali mereka juga mencela karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan. Seperti mencela karena permasalahan yang masih dalam lingkup ijtihadiyyah. Padahal, dalam ilmu jarh wat ta’dil pun, celaan (jarh) tidak boleh dilakukan karena permasalahan ijtihadiyyah yang diperbolehkan.
Abu Hatim Ar Razy berkata, “Aku menyebut orang-orang yang meminum nabidz (arak dari kurma) dari kalangan ahli hadis Kufah, aku menyebut beberapa diantara mereka kepada Ahmad bin Hanbal.” Beliau berkata, “Ini adalah kesalahan mereka. Akan tetapi tidak gugur keadilan mereka disebabkan karena kesalahan mereka ini.” (Al Jarh wat Ta’diil: 2/26 dinukil dari al Khabar al Tsabit, hal. 17 Maktabah Syamilah)
Nabidz adalah arak yang terbuat dari kurma. Jumhur ulama mengatakan bahwa ia hukumnya sama dengan khamr. Tidak demikian dengan orang-orang Kufah, mereka memiliki ijtihad tersendiri dalam masalah ini, mereka tidak menganggapnya sebagai khamr. Imam Ahmad mengatakan bahwa menjarh (mencela) ahli hadis Kufah karena mereka minum nabidz tidak boleh, karena mereka terjerumus dalam kesalahan ini disebabkan ijtihad mereka, bukan karena hawa nafsu.
Mari kita simak nukilan-nukilan berikut dari kitab “al Qaulu asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa.” :
Sufyan Ats Tsaury berkata, “Jika engkau melihat seseorang mengamalkan suatu amalan yang diperselisihkan, sementara engkau berpendapat yang lain, maka jengan engkau larang ia.” (Hilyatul Auliyaa: 6/368)
Khatib al Baghdady juga meriwayatkan dari Sufyan bahwa ia berkata, “Apa yang diperselisihkan para ulama fikih maka aku tidak melarang seorang pun dari ikhwanku untuk mengambilnya.” (al Faqiih wal Mutafaqqih: 2/69)
Yahya bin Sa’id berkata, “Para mufti terus berfatwa menghalalkan ini dan mengharamkan itu. Yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena menghalalkannya, dan yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena mengharamkannya.” (Jaami’ Bayaan al Ilmi wa Fadhlihi: 2/902-903)
Imam Nawawi berkata, “Kemudian para ulama hanya mengingkari permasalahan yang diijmakkan, adapun yang diperselisihkan, maka tidak ada pengingkaran.” (Syarh An Nawawi ‘alaa Muslim: 2/23)
As Suyuthi menyebutkan sebuah kaidah dalam masalah ini dan berkata, “Masalah yang diperselisihkan tidak diingkari, yang diingkari adalah yang diijmakkan.” (Al Asybaah wa An Nadzaa`ir: 107)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Permasalahan-permasalahan ijtihad, orang yang beramal di dalamnya dengan pendapat sebagian para ulama, maka tidak diingkari dan tidak dihajr (boikot).” (Majmuu’ al Fatawa: 20/207)
Beliau juga berkata, “Permasalahan-permasalahan ijtihadiyyah seperti ini tidak diingkari dengan tangan dan tidak boleh bagi seorang pun mengharuskan orang lain untuk mengikutinya dalam masalah tersebut. Ia hanya boleh berbicara dengan argumentasi ilmiah. Bagi yang jelas untuknya benarnya salah satu pendapat, maka ia ikuti. Dan bagi yang taklid kepada pendapat yang lain, maka tidak ada pengingkaran untuknya.” (Majmuu’ al Fatawa: 30/80)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Jika permasalahan tersebut adalah ijmak, maka tidak ada perselisihan (dalam mengingkarinya), adapun dalam masalah-masalah ijtihad, kalian mengetahui bahwa tidak ada pengingkaran bagi orang yang menempuh ijtihad.” (Ad Durar As Saniyyah: 1/43, Lihat nukilan-nukilan yang lain di “al Qaulu asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa”, hal. 35-41)
Catatan: Tentu yang dimaksud adalah masalah ijtihadiyyah yang dibolehkan, yang tidak bertentangan dengan ijmak dan dalil yang sharih (jelas penunjukkannya). Masalah ijtihadiyyah juga boleh dibahas dan dijelaskan kelemahan salah satu pendapatnya, tanpa mencela orang yang mengambil pendapat tersebut.
Jika pun seseorang benar-benar terjatuh pada kesalahan yang nyata, maka perlu juga diingat bahwa mencela dan menjatuhkan kehormatan adalah cara paling terakhir dan dilakukan dengan pertimbangan matang atas maslahat yang diharapkan. Jika tidak, maka tetap cara yang ditempuh adalah nasehat dengan lembut sebagai pokok atau asal.
Mudah-mudahan Allah menjaga kita semua dari buruknya akhlak, kesesatan dan kelemahan.
Mengapa Allah Mendatangkan Musibah?
Allah penguasa alam raya. Dengan kuasa-Nya, Allah dapat berbuat apa saja tanpa ada seorang pun yang mampu menghalanginya. Kita dan semua yang kita saksikan dalam kehidupan ini pun milik-Nya. Dengan hikmah-Nya yang maha tinggi, Allah berkenan memberi apa saja kepada kita, Allah pun mampu mengambilnya dari kita. Allah berkehendak mengaruniakan kebaikan yang kita inginkan, Allah pun berhak menurunkan musibah yang tidak kita harapkan.
Musibah, bencana dan malapetaka ada dalam kuasa-Nya pula. Kehidupan manusia di dunia ini hampir tak pernah sepi dari musibah yang datang silih berganti. Dari yang kecil sampai yang besar. Dari yang ringan sampai yang berat. Dari yang sedikit hingga yang banyak. Ada musibah yang bersifat umum dan ada yang bersifat individu. Ada musibah yang tidak melibatkan manusia dan ada yang musibah yang melibatkan manusia zalim.
Allah Mahabijaksana. Musibah adalah sunnah-Nya. Segala yang diperbuat-Nya selalu mengandung hikmah yang agung. Lalu, untuk tujuan apakah Dia mendatangkan musibah kepada manusia?
Pertama: Sebagai hukuman bagi orang-orang yang mansekutukan-Nya dan kufur kepada-Nya.
Allah akan menurunkan musibah kepada orang-orang yang ingkar, kufur dan menyekutukan-Nya, sebagai hukuman dan azab atas perbuatan mereka yang sangat buruk. Kekufuran dan syirik adalah dosa yang paling besar. Orang-orang yang memperbuatnya memang pantas mendapat hukuman dari Allah, apabila mereka telah mendapatkan peringatan dari para utusan-Nya.
Dalam sejarah manusia, musibah dan azab pernah turun kepada kaum-kaum terdahulu. Kaum Nabi Nuh Allah tenggelamkan dalam musibah banjir bandang. Kaum Nabi Hud, Shaleh dan Syu’ab Allah tiupkan angin yang membinasakan kepada mereka. Fir’aun dan bala tentaranya juga Allah tenggelamkan ke dalam samudera. Kaum Nabi Luth Allah balikkan tanah mereka lalu Allah hujani mereka dengan baru-baru kerikil yang panas. Kisah-kisah mereka Allah ceritakan dalam Al Qur`an agar menjadi pelajaran bagi manusia yang datang setelah mereka.
Allah berfirman,
وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ
“dan siksaan itu Tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (QS. Huud: 83)
Kedua: Sebagai hukuman atas dosa-dosa dibawah syirik dan kekufuran, untuk mensucikan hamba-hamba-Nya.
Diantara sebab datangnya musibah yang menimpa manusia di dunia baik pada diri, keluarga atau harta mereka adalah karena perbuatan dosa dan maksiat yang mereka kerjakan, juga sebagai hukuman dari Allah atas mereka. Allah berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuuraa: 30)
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari dirimu sendiri.” (QS. An Nisaa`: 79) Ibnu Katsir berkata, “Maksud ‘dari dirimu’ adalah dengan sebab dosamu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah, sungguh Allah akan menghalangi rizki seorang hamba disebabkan dosa yang dikerjakannya.” (HR Ibnu Majah, Ahmad, Hakim: Shahih Isnad)
Jika Allah menghendaki kebaikan atas hamba-Nya, Allah akan menyegerakan akibat dari kesalahan yang diperbuatnya di dunia dan tidak menangguhkannya di akhirat. Hingga ia bertemu dengan Allah di akhirat nanti dalam keadaan bersih dari kesalahan.
Dengan demikian, jika musibah datang menyapa kita, segeralah melakukan evaluasi diri dan bertobat kepada-Nya.
Ketiga: Untuk meninggikan derajat hamba-hamba-Nya
Allah menguji manusia dengan musibah dan nikmat, agar menjadi jelas kesyukuran orang yang beriman dan kesabarannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak Allah menetapkan suatu ketetapan bagi seorang mukmin melainkan menjadi kebaikan baginya. Hal itu tidak dimiliki kecuali oleh orang yang beriman. Jika ia mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur dan itu menjadi kebaikan baginya. Begitu pun jika ia ditimpa dengan musibah, maka ia bersabar dan itu pun menjadi kebaikan baginya.” (HR Muslim)
Dari sisi ini musibah menjadi cara Allah untuk meninggikan derajat seorang hamba, meluhurkan keutamaannya dan menambah pahalanya.
Keempat: Untuk membedakan orang yang jujur dan orang yang dusta dalam pengakuan imannya
Dunia adalah tempat ujian. Ujian datang diantaranya dalam bentuk musibah yang tidak diinginkan kehadirannya. Orang-orang yang mengaku beriman akan Allah uji, sejauh mana kebenaran dan kejujuran pengakuannya sebagai orang yang beriman. Allah berfiman,
الم (1) أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabut: 1- 3)
Setiap orang yang mengatakan, “Aku beriman” akan diuji oleh Allah. Jika ia bersabar dan teguh, maka ia berarti jujur dalam imannya. Namun jika ia menyimpang dan berpaling dari agamanya tatkala mendapat ujian, maka ia berarti dusta dalam pengakuannya.
Kelima: Untuk membuat hamba-hamba-Nya berserah diri, mengadu dan berdoa kepada-Nya
Seorang mukmin, jika ia mendapat musibah, ia akan segera mengadu, tunduk, berserah diri dan berdoa kepada Allah. Ia juga akan memperbanyak ibadah, bersedekah dan shalat karena ia menyadari bahwa Allah-lah satu-satunya yang berkuasa mengangkat musibah itu dan menolong orang-orang yang kesusahan jika mereka memohon kepadanya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Diantara hikmah ujian (yang Allah timpakan kepada orang beriman) adalah membuat mereka kian tunduk dan merendahkan diri kepada Allah, merasa butuh dan memohon pertolongan kepada-Nya.”
Dengan demikian, musibah bagi orang yang beriman juga bertujuan menjaga keimanan mereka dan kelurusan jalan hidup yang ditempuhnya. Andai mereka terus-menerus diberikan kesenangan, kemenangan dan kemudahan hidup, bisa jadi mereka menjadi lalai dan lupa kepada Allah dan agamanya.
Keenam: Mengingatkan hamba-Nya kepada akhirat
Sebagaimana yang telah dikatakan diatas, musibah adalah sunnatullah di dunia ini. Dunia bukan tempat kenikmatan. Mencari kesenangan dan kenikmatan selama-lamanya dan terus-menerus tidak mungkin akan didapatkan di dunia ini. Di dunia ini bercampur antara nikmat dan bencana, antara kemudahan dan kesusahan, antara kesenangan dan kesedihan. Jika begitu hakikat dari kehidupan dunia, maka musibah yang datang kepada seorang hamba sejatinya dapat mengingatkannya ke negeri akhirat, tempat cita-cita untuk meraih segala kenikmatan dapat ditambatkan.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al Balad: 4)
Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, susah payah dalam menghadapi musibah-musibah di dunia, dan kesulitan-kesulitan di akhirat.”
Wallahu a’lam, wa shallallahu wa sallam ‘alaa nabiyyinaa Muhammad.
Rahasiakan Amal Shalehmu
Ikhlas dalam beribadah adalah kewajiban setiap muslim. Tanpanya ibadah atau amal shaleh akan sia-sia, bahkan berakibat siksa. Allah berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi [18]: 110)
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah [98]: 5)
Menyembunyikan amal adalah cara paling efektif agar amal shaleh yang kita lakukan dapat terhindar dari riya. Ibadah yang dilakukan di tempat yang jauh dari pandangan manusia, hanya kita dan Allah saja, akan menjadikan hati lebih tenang dan tidak sibuk mengharap penilaian manusia.
Beribadah dengan cara ini hanya mampu dilakukan oleh orang-orang jujur dalam keimanannya. Ia adalah bukti keimanan dan kecintaan mereka yang sangat dalam kepada Allah. Sementara orang-orang munafik, mereka tidak akan mampu melakukannya, karena mereka senantiasa membangun ibadahnya diatas riya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang mampu untuk beramal shaleh dengan sembunyi-sembunyi, maka lakukanlah.” (HR Ahmad dalam Az Zuhdu, dishahihkan al Albani)
Amal-Amal Yang Menjadi Istimewa Karena Nilai Merahasiakan Amal
Jika kita memperhatikan beberapa amal shaleh yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan amal-amal yang lain, kita akan dapati bahwa diantara sebab amal-amal shaleh yang memiliki keistimewaan itu adalah karena ia memiliki nilai merahasiakan amal. Berikut beberapa contohnya:
Shalat Malam
Shalat malam adalah amal shaleh yang istimewa. Keistimewaan yang dimiliki shalat malam ini diantaranya adalah karena seorang hamba akan melakukannya dengan jauh dari pandangan manusia. Saat kebanyakan manusia terlelap dalam tidur mereka, ia bangun untuk melaksanakan perbuatan yang sangat dicintai oleh Tuhannya, meninggalkan panggilan syahwatnya yang mengajak untuk menikmati kenyamanan tidur, semata-mata karena Allah azza wa jalla.
عن أَبي يوسف عبد الله بن سلام – رضي الله عنه -، قَالَ : سَمِعْتُ رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، يقول : (( يَا أيُّهَا النَّاسُ ، أفْشُوا السَّلاَمَ ، وَأطْعِمُوا الطَّعَامَ ، وَصِلُوا الأرْحَامَ ، وَصَلُّوا والنَّاسُ نِيَامٌ ، تَدْخُلُوا الجَنَّةَ بِسَلاَم ))
Dari Abu Yusuf Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambungkanlah silaturahmi, shalatlah ketika manusia tertidur, engkau akan masuk surga dengan keselamatan.”
Merahasiakan Doa
Menyembunyikan doa dengan cara mendoakan seseorang secara rahasia, tanpa diketahui olehnya memiliki keistimewaan. Doa yang dilakukan dengan cara ini adalah doa yang mustajab dan akan mendatangkan kebaikan bagi yang melakukannya, seperti dirinya yang menginginkan kebaikan untuk saudaranya. Doa yang dilakukan dengan cara ini juga jelas menunjukkan ketulusannya dalam berdoa, berbagi kebaikan dengan orang lain.
عن أَبي الدرداء – رضي الله عنه – : أنَّه سَمِعَ رسولَ الله – صلى الله عليه وسلم – يقول : مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلمٍ يدعُو لأَخِيهِ بِظَهْرِ الغَيْبِ إِلاَّ قَالَ المَلَكُ : وَلَكَ بِمِثْلٍ
Dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba muslim berdoa untuk kebaikan saudaranya secara rahasia, melainkan ada malaikat yang akan berkata, “Dan untukmu pula yang sepertinya.” (HR Muslim)
دَعْوَةُ المَرْءِ المُسْلِمِ لأَخيهِ بِظَهْرِ الغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ ، عِنْدَ رَأسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ المَلَكُ المُوَكَّلُ بِهِ : آمِينَ ، وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Doa seorang muslim untuk kebaikan saudaranya secara rahasia akan dikabul (mustajab), di atas kepalanya akan ada malaikat yang diutus, setiap dia berdoa untuk kebaikan saudaranya, malaikat yang diutus tersebut berkata, “Amin, dan untukmu pula yang sepertinya.” (HR Muslim)
Berdzikir Sendirian
Berdzikir adalah amal shaleh yang utama. Lebih utama lagi jika ia dilakukan dengan rahasia, sendirian antara kita dengan Allah saja. Oleh karena itu diantara tujuh golongan orang yang akan mendapat naungan dari Allah kelak pada hari kiamat adalah:
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Dan seorang yang mengingat Allah sendirian, kemudian air matanya mengalir.” (Muttafaq ‘alaih)
Sedekah Rahasia
Sedekah amal besar dalam Islam. Karena kemanfaatannya yang bersifat luas, tidak hanya untuk diri pengamal, tapi juga untuk orang lain. Sedekah adalah kebaikan dalam kondisi apa pun, baik dilakukan dengan terang-terangan, atau dilakukan secara rahasia. Namun, jika dilakukan dengan rahasia, itu lebih baik dari dua sisi: Pertama, untuk orang yang bersedekahnya. Ia akan terbebas dari riya yang dapat merusak pahala sedekahnya. Kedua, untuk orang yang diberi sedekahnya. Ia akan terbebas dari perasaan dihinakan.
Allah berfirman:
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Jika kamu Menampakkan sedekah(mu), Maka itu adalah baik sekali. dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, Maka Menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah [2]: 271)
Begitu pun diantara tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari kiamat adalah:
رَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ
“Seorang yang bersedekah dengan sebuah sedekah, kemudian ia menyembunyikannya, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa disedekahkan oleh tangan kanannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Shalat Sunnah di Rumah
Shalat sunnah diantara amalan sunnah yang utama. lebih utama lagi jika shalat sunnah itu dilakukan di rumah. Hal ini berbeda dengan shalat wajib yang lebih utama dilakukan di masjid bersama kaum muslimin yang lain.
فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ ، إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوبَةَ
“Shalatlah wahai manusia di rumah-rumah kalian, sesungguhnya shalat seseorang yang paling utama itu di rumah, kecuali shalat fardhu.” (HR Bukhari)
Nasehat Salaf
Az Zubair bin al Awwam radhiyallahu ‘anhu berkata, “Milikilah oleh kalian rahasia dari amal shaleh, sebagaimana kalian memiliki rahasia dari amal buruk.”
Sufyan bin Uyainah berkata, Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikan kalian, lebih dari ketika kalian menyembunyikan keburukan-keburukan kalian.”
Ayyub As Syakhtiyani berkata, “Seseorang menutupi kezuhudannya lebih baik daripada ia menampakkannya.”
Muhammad bin Ziyad berkata, “Aku melihat Abu Umamah mendatangi seseorang di masjid yang tengah sujud sambil menangis dan berdoa kepada Tuhannya. Abu Umamah pun berkata, “Engkau, engkau, jika ini engkau lakukan di rumahmu.”
Bisyr bin Al Harits berkata, “Aku tidak mengetahui seorang yang suka untuk dikenal melainkan hilang agamanya dan nampak keburukannya.”
Bisyr juga berkata, “Tidak dapat merasakan manisnya akhirat, orang yang suka dikenal oleh manusia.” “jangan beramal untuk disebut-sebut, sembunyikanlah kebaikan sebagaimana engkau menyembunyikan keburukan.”
Ibrahim bin Adham berkata, “Tidak bertakwa kepada Allah orang yang suka dengan popularitas.”
Cara Salaf Merahasiakan Amal
Berikut adalah diantara contoh dari para assalafusshaleh bagaimana mereka senantiasa berusaha merahasiakan amal shaleh yang mereka kerjakan.
Abu Bakar Ash Shiddiq biasa pergi ke rumah salah seorang wanita tua yang buta. Beliau menyapu rumahnya dan memerah susu kambing miliknya. Suatu hari Umar membuntutinya. Ketika Abu Bakar keluar, Umar bertanya kepada wanita tua tersebut. Ia berkata, “Orang itu selalu datang kesini setiap hari, ia mengerjakan ini dan itu.” Seketika Umar pun menangis dan berkata, “Celaka engkau Umar, apakah aib-aib Abu Bakar akan engkau ikuti?”
Kejadian yang mirip dengan ini pun pernah terjadi dengan Umar dan Thalhah radhiyallahu ‘anhuma. Umar biasa mendatangi rumah-rumah para janda tua untuk membantu keperluan-keperluan mereka. Suatu saat Thalhah membuntutinya. Setelah Umar keluar, ia masuk dan ke rumah-rumah tersebut, ternyata di dalamnya adalah para janda tua dan mereka tidak mengetahui bahwa yang datang kepada mereka itu adalah Umar.
Ali bin al Husain juga biasa memikul makanan pada malam hari dan membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin, ia berkata, “Sesungguhnya sedekah sir (rahasia) pada gelap malam akan memadamkan kemurkaan Tuhan.”
Dikisahkan bahwa sebagian orang di Madinah mendapat makanan itu dan mereka tidak mengetahui siapa yang memberikannya. Ketika Ali bin al Husain wafat, mereka kehilangan orang yang mendatangi mereka itu pada malam hari, dan mereka menemukan pada punggungnya bekas memikul karung-karung makanan yang dilakukannya pada malam hari ke rumah-rumah janda-janda tua.
Orang-orang mengatakan, “Tidaklah kami kehilangan sedekah rahasia hingga Zainal Abidin, Ali bin al Husain wafat –rahimahullah-.”
Imran bin Khalid berkata, “Aku mendengar Muhammad bin Wasi’ berkata, “Sesunggunya ada diantara seseorang yang sering menangis (karena takut kepada Allah) selama duapuluh tahun, namun istrinya yang tinggal bersamanya pun tidak mengetahui.”
Abu Ayyub As Sakhtiyany menunaikan shalat hampir sepanjang malam lalu merahasiakannya. Saat fajar terbit, ia mengangkat suaranya seolah-olah baru terbangun dari tidur saat itu.
Hammad bin Zaid berkata, “Ayyub terkadang saat meriwayatkan hadis menangis, kemudian ia menoleh dan membuang ingusnya dan berkata, “Sungguh berat flu ini.”
Sebab-Sebab Yang Membantu Dalam Merahasiakan Amal
Mentadaburi makna keikhlasan.
Mendidik dan senantiasa mengingatkan diri tentang keikhlasan adalah pembantu utama dalam merahasiakan amal, karena merahasiakan amal itu sendiri tujuan utamanya adalah beramal hanya untuk Allah dan jauh dari pandangan manusia yang berpotensi memunculkan riya dalam hati.
Menganggap sama celaan dan pujian manusia.
Ini juga cara efektif agar kita mampu merahasiakan amal. Dengan tidak membiasakan untuk terpengaruh dengan penilaian manusia, baik ketika mereka memuji atau mencela, kita akan memiliki kekuatan untuk menyembunyikan amal, dengan demikian yang kita harapkan dari amal-amal tersebut hanyalah keridhoan Allah semata.
Berupaya untuk selalu menyempurnakan amal.
Hendaknya kita salalu belajar untuk beramal dengan sempurna dalam seluruh sisinya sehingga ibadah itu diterima oleh Allah. Dan diantara cara menyempurnakan amal adalah dengan merahasiakannya.
Melakukan latihan.
Latihan secara terus-menerus akan membuat kita semakin terbiasa beramal secara rahasia. Latihan ini bisa juga dilakukan dengan mengerjakan amal-amal yang memiliki keistimewaan karena nilai merahasiakan amal sebagaimana yang telah dijelaskan diatas; bangun malam, berdoa secara rahasia, sedekah secara rahasia dan memperbanyak shalat sunnah di rumah.
Catatan
Jika ada maslahat yang lebih besar dalam menampakkan amal shaleh, maka menampakkannya lebih utama dari menyembunyikannya. Seperti dalam rangka member contoh kepada orang lain.
Menyembunyikan amal tidak berlaku dalam ibadah yang merupakan syiar Islam seperti shalat berjamaah, shalat dua hari raya dan lain-lain. Sebagian ulama berpendapat tidak juga berlaku dalam ibadah wajib. Maka zakat menurut mereka dilakukan terang-terangan.
Jika seseorang telah merahasiakan amalnya, kemudian amal tersebut diketahui oleh orang lain dan mereka pun memujinya, lalu ia merasa senang dengannya, maka hal itu tidak menggugurkan nilai menyembunyikan amal. Karena ia adalah “kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin” (HR Muslim)
Wallahu ‘alam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi [18]: 110)
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah [98]: 5)
Menyembunyikan amal adalah cara paling efektif agar amal shaleh yang kita lakukan dapat terhindar dari riya. Ibadah yang dilakukan di tempat yang jauh dari pandangan manusia, hanya kita dan Allah saja, akan menjadikan hati lebih tenang dan tidak sibuk mengharap penilaian manusia.
Beribadah dengan cara ini hanya mampu dilakukan oleh orang-orang jujur dalam keimanannya. Ia adalah bukti keimanan dan kecintaan mereka yang sangat dalam kepada Allah. Sementara orang-orang munafik, mereka tidak akan mampu melakukannya, karena mereka senantiasa membangun ibadahnya diatas riya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang mampu untuk beramal shaleh dengan sembunyi-sembunyi, maka lakukanlah.” (HR Ahmad dalam Az Zuhdu, dishahihkan al Albani)
Amal-Amal Yang Menjadi Istimewa Karena Nilai Merahasiakan Amal
Jika kita memperhatikan beberapa amal shaleh yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan amal-amal yang lain, kita akan dapati bahwa diantara sebab amal-amal shaleh yang memiliki keistimewaan itu adalah karena ia memiliki nilai merahasiakan amal. Berikut beberapa contohnya:
Shalat Malam
Shalat malam adalah amal shaleh yang istimewa. Keistimewaan yang dimiliki shalat malam ini diantaranya adalah karena seorang hamba akan melakukannya dengan jauh dari pandangan manusia. Saat kebanyakan manusia terlelap dalam tidur mereka, ia bangun untuk melaksanakan perbuatan yang sangat dicintai oleh Tuhannya, meninggalkan panggilan syahwatnya yang mengajak untuk menikmati kenyamanan tidur, semata-mata karena Allah azza wa jalla.
عن أَبي يوسف عبد الله بن سلام – رضي الله عنه -، قَالَ : سَمِعْتُ رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، يقول : (( يَا أيُّهَا النَّاسُ ، أفْشُوا السَّلاَمَ ، وَأطْعِمُوا الطَّعَامَ ، وَصِلُوا الأرْحَامَ ، وَصَلُّوا والنَّاسُ نِيَامٌ ، تَدْخُلُوا الجَنَّةَ بِسَلاَم ))
Dari Abu Yusuf Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambungkanlah silaturahmi, shalatlah ketika manusia tertidur, engkau akan masuk surga dengan keselamatan.”
Merahasiakan Doa
Menyembunyikan doa dengan cara mendoakan seseorang secara rahasia, tanpa diketahui olehnya memiliki keistimewaan. Doa yang dilakukan dengan cara ini adalah doa yang mustajab dan akan mendatangkan kebaikan bagi yang melakukannya, seperti dirinya yang menginginkan kebaikan untuk saudaranya. Doa yang dilakukan dengan cara ini juga jelas menunjukkan ketulusannya dalam berdoa, berbagi kebaikan dengan orang lain.
عن أَبي الدرداء – رضي الله عنه – : أنَّه سَمِعَ رسولَ الله – صلى الله عليه وسلم – يقول : مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلمٍ يدعُو لأَخِيهِ بِظَهْرِ الغَيْبِ إِلاَّ قَالَ المَلَكُ : وَلَكَ بِمِثْلٍ
Dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba muslim berdoa untuk kebaikan saudaranya secara rahasia, melainkan ada malaikat yang akan berkata, “Dan untukmu pula yang sepertinya.” (HR Muslim)
دَعْوَةُ المَرْءِ المُسْلِمِ لأَخيهِ بِظَهْرِ الغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ ، عِنْدَ رَأسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ المَلَكُ المُوَكَّلُ بِهِ : آمِينَ ، وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Doa seorang muslim untuk kebaikan saudaranya secara rahasia akan dikabul (mustajab), di atas kepalanya akan ada malaikat yang diutus, setiap dia berdoa untuk kebaikan saudaranya, malaikat yang diutus tersebut berkata, “Amin, dan untukmu pula yang sepertinya.” (HR Muslim)
Berdzikir Sendirian
Berdzikir adalah amal shaleh yang utama. Lebih utama lagi jika ia dilakukan dengan rahasia, sendirian antara kita dengan Allah saja. Oleh karena itu diantara tujuh golongan orang yang akan mendapat naungan dari Allah kelak pada hari kiamat adalah:
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Dan seorang yang mengingat Allah sendirian, kemudian air matanya mengalir.” (Muttafaq ‘alaih)
Sedekah Rahasia
Sedekah amal besar dalam Islam. Karena kemanfaatannya yang bersifat luas, tidak hanya untuk diri pengamal, tapi juga untuk orang lain. Sedekah adalah kebaikan dalam kondisi apa pun, baik dilakukan dengan terang-terangan, atau dilakukan secara rahasia. Namun, jika dilakukan dengan rahasia, itu lebih baik dari dua sisi: Pertama, untuk orang yang bersedekahnya. Ia akan terbebas dari riya yang dapat merusak pahala sedekahnya. Kedua, untuk orang yang diberi sedekahnya. Ia akan terbebas dari perasaan dihinakan.
Allah berfirman:
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Jika kamu Menampakkan sedekah(mu), Maka itu adalah baik sekali. dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, Maka Menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah [2]: 271)
Begitu pun diantara tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari kiamat adalah:
رَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ
“Seorang yang bersedekah dengan sebuah sedekah, kemudian ia menyembunyikannya, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa disedekahkan oleh tangan kanannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Shalat Sunnah di Rumah
Shalat sunnah diantara amalan sunnah yang utama. lebih utama lagi jika shalat sunnah itu dilakukan di rumah. Hal ini berbeda dengan shalat wajib yang lebih utama dilakukan di masjid bersama kaum muslimin yang lain.
فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ ، إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوبَةَ
“Shalatlah wahai manusia di rumah-rumah kalian, sesungguhnya shalat seseorang yang paling utama itu di rumah, kecuali shalat fardhu.” (HR Bukhari)
Nasehat Salaf
Az Zubair bin al Awwam radhiyallahu ‘anhu berkata, “Milikilah oleh kalian rahasia dari amal shaleh, sebagaimana kalian memiliki rahasia dari amal buruk.”
Sufyan bin Uyainah berkata, Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikan kalian, lebih dari ketika kalian menyembunyikan keburukan-keburukan kalian.”
Ayyub As Syakhtiyani berkata, “Seseorang menutupi kezuhudannya lebih baik daripada ia menampakkannya.”
Muhammad bin Ziyad berkata, “Aku melihat Abu Umamah mendatangi seseorang di masjid yang tengah sujud sambil menangis dan berdoa kepada Tuhannya. Abu Umamah pun berkata, “Engkau, engkau, jika ini engkau lakukan di rumahmu.”
Bisyr bin Al Harits berkata, “Aku tidak mengetahui seorang yang suka untuk dikenal melainkan hilang agamanya dan nampak keburukannya.”
Bisyr juga berkata, “Tidak dapat merasakan manisnya akhirat, orang yang suka dikenal oleh manusia.” “jangan beramal untuk disebut-sebut, sembunyikanlah kebaikan sebagaimana engkau menyembunyikan keburukan.”
Ibrahim bin Adham berkata, “Tidak bertakwa kepada Allah orang yang suka dengan popularitas.”
Cara Salaf Merahasiakan Amal
Berikut adalah diantara contoh dari para assalafusshaleh bagaimana mereka senantiasa berusaha merahasiakan amal shaleh yang mereka kerjakan.
Abu Bakar Ash Shiddiq biasa pergi ke rumah salah seorang wanita tua yang buta. Beliau menyapu rumahnya dan memerah susu kambing miliknya. Suatu hari Umar membuntutinya. Ketika Abu Bakar keluar, Umar bertanya kepada wanita tua tersebut. Ia berkata, “Orang itu selalu datang kesini setiap hari, ia mengerjakan ini dan itu.” Seketika Umar pun menangis dan berkata, “Celaka engkau Umar, apakah aib-aib Abu Bakar akan engkau ikuti?”
Kejadian yang mirip dengan ini pun pernah terjadi dengan Umar dan Thalhah radhiyallahu ‘anhuma. Umar biasa mendatangi rumah-rumah para janda tua untuk membantu keperluan-keperluan mereka. Suatu saat Thalhah membuntutinya. Setelah Umar keluar, ia masuk dan ke rumah-rumah tersebut, ternyata di dalamnya adalah para janda tua dan mereka tidak mengetahui bahwa yang datang kepada mereka itu adalah Umar.
Ali bin al Husain juga biasa memikul makanan pada malam hari dan membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin, ia berkata, “Sesungguhnya sedekah sir (rahasia) pada gelap malam akan memadamkan kemurkaan Tuhan.”
Dikisahkan bahwa sebagian orang di Madinah mendapat makanan itu dan mereka tidak mengetahui siapa yang memberikannya. Ketika Ali bin al Husain wafat, mereka kehilangan orang yang mendatangi mereka itu pada malam hari, dan mereka menemukan pada punggungnya bekas memikul karung-karung makanan yang dilakukannya pada malam hari ke rumah-rumah janda-janda tua.
Orang-orang mengatakan, “Tidaklah kami kehilangan sedekah rahasia hingga Zainal Abidin, Ali bin al Husain wafat –rahimahullah-.”
Imran bin Khalid berkata, “Aku mendengar Muhammad bin Wasi’ berkata, “Sesunggunya ada diantara seseorang yang sering menangis (karena takut kepada Allah) selama duapuluh tahun, namun istrinya yang tinggal bersamanya pun tidak mengetahui.”
Abu Ayyub As Sakhtiyany menunaikan shalat hampir sepanjang malam lalu merahasiakannya. Saat fajar terbit, ia mengangkat suaranya seolah-olah baru terbangun dari tidur saat itu.
Hammad bin Zaid berkata, “Ayyub terkadang saat meriwayatkan hadis menangis, kemudian ia menoleh dan membuang ingusnya dan berkata, “Sungguh berat flu ini.”
Sebab-Sebab Yang Membantu Dalam Merahasiakan Amal
Mentadaburi makna keikhlasan.
Mendidik dan senantiasa mengingatkan diri tentang keikhlasan adalah pembantu utama dalam merahasiakan amal, karena merahasiakan amal itu sendiri tujuan utamanya adalah beramal hanya untuk Allah dan jauh dari pandangan manusia yang berpotensi memunculkan riya dalam hati.
Menganggap sama celaan dan pujian manusia.
Ini juga cara efektif agar kita mampu merahasiakan amal. Dengan tidak membiasakan untuk terpengaruh dengan penilaian manusia, baik ketika mereka memuji atau mencela, kita akan memiliki kekuatan untuk menyembunyikan amal, dengan demikian yang kita harapkan dari amal-amal tersebut hanyalah keridhoan Allah semata.
Berupaya untuk selalu menyempurnakan amal.
Hendaknya kita salalu belajar untuk beramal dengan sempurna dalam seluruh sisinya sehingga ibadah itu diterima oleh Allah. Dan diantara cara menyempurnakan amal adalah dengan merahasiakannya.
Melakukan latihan.
Latihan secara terus-menerus akan membuat kita semakin terbiasa beramal secara rahasia. Latihan ini bisa juga dilakukan dengan mengerjakan amal-amal yang memiliki keistimewaan karena nilai merahasiakan amal sebagaimana yang telah dijelaskan diatas; bangun malam, berdoa secara rahasia, sedekah secara rahasia dan memperbanyak shalat sunnah di rumah.
Catatan
Jika ada maslahat yang lebih besar dalam menampakkan amal shaleh, maka menampakkannya lebih utama dari menyembunyikannya. Seperti dalam rangka member contoh kepada orang lain.
Menyembunyikan amal tidak berlaku dalam ibadah yang merupakan syiar Islam seperti shalat berjamaah, shalat dua hari raya dan lain-lain. Sebagian ulama berpendapat tidak juga berlaku dalam ibadah wajib. Maka zakat menurut mereka dilakukan terang-terangan.
Jika seseorang telah merahasiakan amalnya, kemudian amal tersebut diketahui oleh orang lain dan mereka pun memujinya, lalu ia merasa senang dengannya, maka hal itu tidak menggugurkan nilai menyembunyikan amal. Karena ia adalah “kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin” (HR Muslim)
Wallahu ‘alam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad
Mengapa Kita Harus Beribadah Kepada Allah?
Untuk sia-sia kah Allah menciptakan kita? Menciptakan langit, bumi, matahari dan bulan? Hanya untuk main-main saja kah Allah mempergilirkan siang dan malam? Menurunkan hujan? Menumbuhkan pepohonan dan mengalirkan sungai-sungai? Tanpa tujuan kah Allah mengaruniakan akal pikiran kepada kita?
Sederet pertanyaan yang jawabannya sangat mudah dan tidak membutuhkan pemikiran mendalam sebetulnya, namun sering terlewatkan dalam pengamatan kita karena hati kita kerap sibuk dengan keinginan-keinginan jiwa kita yang melalaikan, karena mata kita sering silau dengan kerling indah dunia, dan karena akal pikiran kita tidak jarang tertutup kabut kegelapan yang menyamarkan kebenaran. Bahkan, sebagian kita lupa daratan dan menjadi pengingkar hakikat dirinya ..
Satu kata saja, dengan satu tarikan nafas saja untuk mengucapkannya, yang kita butuhkan untuk menjawab sejumlah pertanyaan di atas. Yaitu: Al Ibaadah. Ya, semua itu Allah lakukan agar kita beribadah kepada-Nya. Dengan tegas Allah menyatakan,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56)
Allah pun menyindir kita dengan pertanyaan,
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminun [23]: 115)
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah– berkata, “Firman Allah, “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja)?” “Apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan tanpa maksud, tujuan dan hikmah?” “Firman Allah, “bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” “Tidak dikembalikan ke negeri akhirat?” (Tafsir Al Qur`an Al Adzim: 5/500)
Jika muncul dalam benak kita pertanyaan, “lalu, mengapa Allah memerintahkan kita untuk beribadah?” Alasan-alasan berikut mudah-mudahan semakin dapat meyakinkan kita mengapa kita harus beribadah kepada Sang Pencipta kita, Allah subhaanahu wa ta’aala.
Karena Allah adalah Pencipta Kita dan Semesta serta Pemelihara Semuanya.
Hal ini sebagaimana pernyataan Allah dalam ayat yang telah lalu penyebutannya (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56, Al Mukminun [23]: 115)
Allah pun berfirman,
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS. Az Zumar [39]: 62)
Oleh karena Allah satu-satunya dzat yang menciptakan kita dan juga menciptakan semesta tempat hidup kita, maka kita harus beribadah kepada-Nya, mengabdi sebagai hamba dan bagian dari makhluk-Nya.
Karena Allah menciptakan Kita dengan Bentuk yang Terbaik
Allah tidak menciptakan kita dalam bentuk yang asal-asalan, tapi menciptakan kita dengan bentuk yang terbaik. Perhatikan firman Allah berikut,
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At Tiin [95]: 4)
As-Si’diy berkata, “Maksudnya adalah diciptakan dengan sempurna, anggota tubuh yang sesuai dan perawakan yang pantas, tidak kurang sesuatu apa pun yang ia butuhkan.” (Taisir Karim Al Rahman: 929)
Karena Allah Memuliakan kita dengan Akal Pikiran
Tidak hanya itu, Allah pun mengistimewakan kita dengan akal pikiran. Allah berfirman,
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
“Dan sungguh kami telah memuliakan anak Adam.” (QS. Al Isra [17]: 70)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa manusia telah dimuliakan dengan akal. (Lihat Tafsir Al Baghawi: 5/108)
Karena Allah yang Mengaruniakan kepada Kita Rizki untuk Menampung Kehidupan Kita
Setelah diciptakan, diciptakan dengan bentuk terbaik dan dimuliakan dengan akal pikiran, karunia Allah selanjutnya adalah menurunkan beragam rizki yang dengannya manusia mampu bertahan hidup di bumi ini. Allah berfirman,
أَمَّنْ هَذَا الَّذِي يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ
“Atau siapakah dia yang memberi kamu rezki jika Allah menahan rezki-Nya?” (QS. Al Mulk [67]: 21)
Itulah beberapa alasan mengapa kita harus beribadah kepada Dzat yang telah mengaruniakan kepada kita segala hal yang kita miliki saat ini. Jelas sekali, sejelas matahari di siang hari. Bagi orang-orang yang mau berfikir, bagi orang-orang yang berakal, bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran dan bagi orang-orang yang mau mengikuti fitrah sucinya. Begitulah Allah sering menyinggung nalar kita untuk berfikir di dalam Al Qur`an.
Semoga Allah menuntun kita kepada petunjuk dan keredhaan-Nya
***Wallahu a’lam.
Sederet pertanyaan yang jawabannya sangat mudah dan tidak membutuhkan pemikiran mendalam sebetulnya, namun sering terlewatkan dalam pengamatan kita karena hati kita kerap sibuk dengan keinginan-keinginan jiwa kita yang melalaikan, karena mata kita sering silau dengan kerling indah dunia, dan karena akal pikiran kita tidak jarang tertutup kabut kegelapan yang menyamarkan kebenaran. Bahkan, sebagian kita lupa daratan dan menjadi pengingkar hakikat dirinya ..
Satu kata saja, dengan satu tarikan nafas saja untuk mengucapkannya, yang kita butuhkan untuk menjawab sejumlah pertanyaan di atas. Yaitu: Al Ibaadah. Ya, semua itu Allah lakukan agar kita beribadah kepada-Nya. Dengan tegas Allah menyatakan,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56)
Allah pun menyindir kita dengan pertanyaan,
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminun [23]: 115)
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah– berkata, “Firman Allah, “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja)?” “Apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan tanpa maksud, tujuan dan hikmah?” “Firman Allah, “bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” “Tidak dikembalikan ke negeri akhirat?” (Tafsir Al Qur`an Al Adzim: 5/500)
Jika muncul dalam benak kita pertanyaan, “lalu, mengapa Allah memerintahkan kita untuk beribadah?” Alasan-alasan berikut mudah-mudahan semakin dapat meyakinkan kita mengapa kita harus beribadah kepada Sang Pencipta kita, Allah subhaanahu wa ta’aala.
Karena Allah adalah Pencipta Kita dan Semesta serta Pemelihara Semuanya.
Hal ini sebagaimana pernyataan Allah dalam ayat yang telah lalu penyebutannya (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56, Al Mukminun [23]: 115)
Allah pun berfirman,
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS. Az Zumar [39]: 62)
Oleh karena Allah satu-satunya dzat yang menciptakan kita dan juga menciptakan semesta tempat hidup kita, maka kita harus beribadah kepada-Nya, mengabdi sebagai hamba dan bagian dari makhluk-Nya.
Karena Allah menciptakan Kita dengan Bentuk yang Terbaik
Allah tidak menciptakan kita dalam bentuk yang asal-asalan, tapi menciptakan kita dengan bentuk yang terbaik. Perhatikan firman Allah berikut,
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At Tiin [95]: 4)
As-Si’diy berkata, “Maksudnya adalah diciptakan dengan sempurna, anggota tubuh yang sesuai dan perawakan yang pantas, tidak kurang sesuatu apa pun yang ia butuhkan.” (Taisir Karim Al Rahman: 929)
Karena Allah Memuliakan kita dengan Akal Pikiran
Tidak hanya itu, Allah pun mengistimewakan kita dengan akal pikiran. Allah berfirman,
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
“Dan sungguh kami telah memuliakan anak Adam.” (QS. Al Isra [17]: 70)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa manusia telah dimuliakan dengan akal. (Lihat Tafsir Al Baghawi: 5/108)
Karena Allah yang Mengaruniakan kepada Kita Rizki untuk Menampung Kehidupan Kita
Setelah diciptakan, diciptakan dengan bentuk terbaik dan dimuliakan dengan akal pikiran, karunia Allah selanjutnya adalah menurunkan beragam rizki yang dengannya manusia mampu bertahan hidup di bumi ini. Allah berfirman,
أَمَّنْ هَذَا الَّذِي يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ
“Atau siapakah dia yang memberi kamu rezki jika Allah menahan rezki-Nya?” (QS. Al Mulk [67]: 21)
Itulah beberapa alasan mengapa kita harus beribadah kepada Dzat yang telah mengaruniakan kepada kita segala hal yang kita miliki saat ini. Jelas sekali, sejelas matahari di siang hari. Bagi orang-orang yang mau berfikir, bagi orang-orang yang berakal, bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran dan bagi orang-orang yang mau mengikuti fitrah sucinya. Begitulah Allah sering menyinggung nalar kita untuk berfikir di dalam Al Qur`an.
Semoga Allah menuntun kita kepada petunjuk dan keredhaan-Nya
***Wallahu a’lam.
Mencari Nilai Ibadah Dalam Bekerja
Islam mencintai seorang muslim yang giat bekerja, mandiri, apalagi rajin memberi. Sebaliknya, Islam membenci manusia yang pemalas, suka berpangku tangan dan menjadi beban orang lain. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ
“Maka carilah rizki disisi Allah..” (QS. Al ‘Ankabut [29]: 17)
Bekerja dalam pandangan Islam begitu tinggi derajat-nya. Hingga Allah dalam Al Qur`an menggandengkannya dengan jihad memerangi orang-orang kafir.
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.” (QS. Al Muzzammil [73]: 20)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan menyebut aktifitas bekerja sebagai jihad di jalan Allah. Diriwayatkan, beberapa orang sahabat melihat seorang pemuda kuat yang rajin bekerja. Mereka pun berkata mengomentari pemuda tersebut, “Andai saja ini (rajin dan giat) dilakukan untuk jihad di jalan Allah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menyela mereka dengan sabdanya, “Janganlan kamu berkata seperti itu. Jika ia bekerja untuk menafkahi anak-anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk menafkahi kedua orang-tuanya yang sudah tua, maka ia di jalan Allah. Dan jika ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya, maka ia pun di jalan Allah. Namun jika ia bekerja dalam rangka riya atau berbangga diri, maka ia di jalan setan.” (HR Thabrani, dinilai shahih oleh Al Albani)
Manusia paling mulia di muka bumi ini adalah para nabi. Tugas yang mereka emban di dunia ini sangat mulia, yaitu berdakwah kepada agama Allah dan mengajarkan risalahnya kepada manusia yang lain. Allah sering mengisahkan kepada kita perjuangan dakwah mereka dalam Al Qur`an. Namun begitu, Allah dalam Al Qur`an juga menyebutkan sisi lain dari kehidupan mereka. Mereka juga seperti manusia yang lain pada umumnya, termasuk dalam hal bekerja dan mencari penghidupan. Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ
“dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” (QS. Al Furqan [25]: 20)
Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya berkata, “Maksud-nya, mereka mencari penghidupan di dunia.. ayat ini merupakan landasan disyariatkannya bekerja mencari penghasilan baik dengan berniaga, produksi atau yang lainnya.”
Nabi Adam bertani, Ibrahim menjual pakaian, Nuh dan Zakaria tukang kayu, Idris Penjahit dan Musa penggembala. Allah mengisahkan dalam Al Qur`an bahwa Nabi Dawud membuat baju besi.
وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ
“dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam pepe–ranganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” (QS. Al Anbiya [21]: 80)
“dan Sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari kami. (kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya aku melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Saba` [34]: 10-11)
Nabi kita yang mulia juga mengabarkan, bahwa beliau pernah bekerja sebagai penggembala kambing. “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan pernah menjadi penggembala kambing.” Para sahabat berkata, “Begitu juga engkau?” beliau bersabda, “Ya, aku pernah menggembala kambing penduduk Makkah dengan upah sejumlah uang.” (HR Bukhari)
Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berdagang. Beliau pernah melakukan perjalanan bisnis ke negeri Syam untuk menjual barang-barang dagangan milik Khadijah radhiyallahu ‘anha.
Oleh karena itu semua, Islam sangat mendorong umatnya untuk bekerja dan berusaha mencari penghidupan. Allah berfirman,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mukl [67]: 15)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah [62]: 10)
Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya, “Diriwayat-kan dari sebagian salaf bahwa ia berkata, “Barangsiapa yang membeli atau menjual sesuatu pada hari jumat setelah shalat, Allah akan memberkahi untuknya 70 kali.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari makanan yang dihasilkan dari pekerjaan tangannya sendiri.” (HR Bukhari)
Semangat ini juga difahami oleh para sahabat yang mulia semoga Allah meridhai mereka. Mereka juga para pekerja. Diriwayatkan Abu Bakar penjual pakaian, Umar bekerja mengurusi kulit, Utsman bin Affan pedagang, Ali bin Abi Thalib bekerja sebagai pegawai lebih dari satu kali untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Begitu juga para sahabat yang lain seperti Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Az Zubai bin Al Awwam, Amr bin al Ash dan yang lainnya memiliki pekerjaan masing-masing dalam rangka mencari penghidupan di dunia ini.
Agar Bekerja Bernilai Ibadah
Telah dijelaskan bahwa Islam mendorong umatnya untuk bekerja, hidup dalam kemuliaan dan tidak menjadi beban orang lain. Islam juga memberi kebebasan dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan kecenderungan dan kemampuan setiap orang. Namun demikian, Islam mengatur batasan-batasan, meletakkan prinsip-prinsip dan menetapkan nilai-nilai yang harus dijaga oleh seorang muslim, agar kemudian aktifitas bekerjanya benar-benar dipandang oleh Allah sebagai kegiatan ibadah yang memberi keuntungan berlipat di dunia dan di akhirat. Berikut ini adalah batasan-batasan tersebut:
Pertama, pekerjaan yang dijalani harus halal dan baik. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al Baqarah [2]: 172)
Setiap muslim diperintahkan untuk makan yang halal-halal saja serta hanya memberi dari hasil usahanya yang halal, agar pekerjaan itu mendatangkan kemaslahatan dan bukan justru menimbulkan kerusakan. Itu semua tidak dapat diwujudkan, kecuali jika pekerjaan yang dilakukannya termasuk kategori pekerjaan yang dihalalkan oleh Islam. Maka tidak boleh bagi seorang muslim bekerja dalam bidang-bidang yang dianggap oleh Islam sebagai kemaksiatan dan akan menimbulkan kerusakan. Diantara bentuk pekerjaan yang diharamkan oleh Islam adalah membuat patung, memproduksi khamr dan jenis barang yang memamukkan lainnya, berjudi atau bekerja dalam pekerjaan yang mengandung unsur judi, riba, suap-menyuap, sihir, ternak babi, mencuri, merampok, menipu dan memanipulasi dan begitu pula seluruh pekerjaan yang termasuk membantu perbuatan haram seperti menjual anggur kepada produsen arak, menjual senjata kepada orang-orang yang memerangi kaum muslimin, bekerja di tempat-tempat maksiat yang melalaikan dan merusak moral manusia dan lain sebagainya.
Kedua, bekerja dengan profesional dan penuh tanggungjawab. Islam tidak memerintahkan umatnya untuk sekedar bekerja, akan tetapi mendorong umatnya agar senantiasa bekerja dengan baik dan bertanggungjawab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah mencintai seorang diantara kalian yang jika bekerja, maka ia bekerja dengan baik.” (HR Baihaqi, dinilai shahih oleh Al Albani dalam “Silsilah As Shahihah”)
Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajib-kan perbuatan ihsan atas segala sesuatu.” (HR Muslim)
Yang dimaksud dengan profesional dalam bekerja adalah, merasa memiliki tanggungjawab atas pekerjaan tersebut, memperhatikan dengan baik urusannya dan berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan.
Ketiga, ikhlas dalam bekerja, yaitu meniatkan aktifitas bekerjanya tersebut untuk mencari ridho Allah dan beribadah kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung niat. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR Bukhari Muslim)
Niat sangat penting dalam bekerja. Jika kita ingin pekerjaan kita dinilai ibadah, maka niat ibadah itu harus hadir dalam sanubari kita. Segala lelah dan setiap tetesan keringat karena bekerja akan dipandang oleh Allah sebagai ketundukan dan amal shaleh disebabkan karena niat. Untuk itulah, jangan sampai kita melupakan niat tersebut saat kita bekerja, sehingga kita kehilangan pahala ibadah yang sangat besar dari pekerjaan yang kita jalani itu.
Keempat, tidak melalaikan kewajiban kepada Allah. Bekerja juga akan bernilai ibadah jika pekerjaan apa pun yang kita jalani tidak sampai melalaikan dan melupakan kita dari kewajiban-kewajiban kepada Allah. Sibuk bekerja tidak boleh sampai membuat kita meninggalkan kewajiban. Shalat misalnya. Ia adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Maka, jangan sampai kesibukan bekerja mencari karunia Allah mengakibatkan ia meninggalkan shalat walau pun hanya satu kali. Begitu pula dengan kewajiban yang lainnya, seperti zakat, puasa, haji, bersilaturahmi dan ibadah-ibadah wajib lainnya.
Itulah beberapa prinsip dan etika penting yang harus dijaga oleh siapa saja yang tengah bekerja untuk mencukup diri dan keluarga yang berada dalam tanggungannya. Bekerja adalah tindakan mulia. Keuntungan dunia dapat diraih dengannya. Namun bagi seorang muslim, hendaknya bekerja menjadi memiliki keuntungan ganda, keuntungan di dunia dengan terkumpulnya pundi-pundi kekayaan, dan di akhirat dengan pahala melimpah dan kenikmatan surga karena nilai ibadah yang dikandungnya.
Wallahu a’lam.
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ
“Maka carilah rizki disisi Allah..” (QS. Al ‘Ankabut [29]: 17)
Bekerja dalam pandangan Islam begitu tinggi derajat-nya. Hingga Allah dalam Al Qur`an menggandengkannya dengan jihad memerangi orang-orang kafir.
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.” (QS. Al Muzzammil [73]: 20)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan menyebut aktifitas bekerja sebagai jihad di jalan Allah. Diriwayatkan, beberapa orang sahabat melihat seorang pemuda kuat yang rajin bekerja. Mereka pun berkata mengomentari pemuda tersebut, “Andai saja ini (rajin dan giat) dilakukan untuk jihad di jalan Allah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menyela mereka dengan sabdanya, “Janganlan kamu berkata seperti itu. Jika ia bekerja untuk menafkahi anak-anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk menafkahi kedua orang-tuanya yang sudah tua, maka ia di jalan Allah. Dan jika ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya, maka ia pun di jalan Allah. Namun jika ia bekerja dalam rangka riya atau berbangga diri, maka ia di jalan setan.” (HR Thabrani, dinilai shahih oleh Al Albani)
Manusia paling mulia di muka bumi ini adalah para nabi. Tugas yang mereka emban di dunia ini sangat mulia, yaitu berdakwah kepada agama Allah dan mengajarkan risalahnya kepada manusia yang lain. Allah sering mengisahkan kepada kita perjuangan dakwah mereka dalam Al Qur`an. Namun begitu, Allah dalam Al Qur`an juga menyebutkan sisi lain dari kehidupan mereka. Mereka juga seperti manusia yang lain pada umumnya, termasuk dalam hal bekerja dan mencari penghidupan. Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ
“dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” (QS. Al Furqan [25]: 20)
Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya berkata, “Maksud-nya, mereka mencari penghidupan di dunia.. ayat ini merupakan landasan disyariatkannya bekerja mencari penghasilan baik dengan berniaga, produksi atau yang lainnya.”
Nabi Adam bertani, Ibrahim menjual pakaian, Nuh dan Zakaria tukang kayu, Idris Penjahit dan Musa penggembala. Allah mengisahkan dalam Al Qur`an bahwa Nabi Dawud membuat baju besi.
وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ
“dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam pepe–ranganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” (QS. Al Anbiya [21]: 80)
“dan Sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari kami. (kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya aku melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Saba` [34]: 10-11)
Nabi kita yang mulia juga mengabarkan, bahwa beliau pernah bekerja sebagai penggembala kambing. “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan pernah menjadi penggembala kambing.” Para sahabat berkata, “Begitu juga engkau?” beliau bersabda, “Ya, aku pernah menggembala kambing penduduk Makkah dengan upah sejumlah uang.” (HR Bukhari)
Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berdagang. Beliau pernah melakukan perjalanan bisnis ke negeri Syam untuk menjual barang-barang dagangan milik Khadijah radhiyallahu ‘anha.
Oleh karena itu semua, Islam sangat mendorong umatnya untuk bekerja dan berusaha mencari penghidupan. Allah berfirman,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mukl [67]: 15)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah [62]: 10)
Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya, “Diriwayat-kan dari sebagian salaf bahwa ia berkata, “Barangsiapa yang membeli atau menjual sesuatu pada hari jumat setelah shalat, Allah akan memberkahi untuknya 70 kali.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari makanan yang dihasilkan dari pekerjaan tangannya sendiri.” (HR Bukhari)
Semangat ini juga difahami oleh para sahabat yang mulia semoga Allah meridhai mereka. Mereka juga para pekerja. Diriwayatkan Abu Bakar penjual pakaian, Umar bekerja mengurusi kulit, Utsman bin Affan pedagang, Ali bin Abi Thalib bekerja sebagai pegawai lebih dari satu kali untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Begitu juga para sahabat yang lain seperti Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Az Zubai bin Al Awwam, Amr bin al Ash dan yang lainnya memiliki pekerjaan masing-masing dalam rangka mencari penghidupan di dunia ini.
Agar Bekerja Bernilai Ibadah
Telah dijelaskan bahwa Islam mendorong umatnya untuk bekerja, hidup dalam kemuliaan dan tidak menjadi beban orang lain. Islam juga memberi kebebasan dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan kecenderungan dan kemampuan setiap orang. Namun demikian, Islam mengatur batasan-batasan, meletakkan prinsip-prinsip dan menetapkan nilai-nilai yang harus dijaga oleh seorang muslim, agar kemudian aktifitas bekerjanya benar-benar dipandang oleh Allah sebagai kegiatan ibadah yang memberi keuntungan berlipat di dunia dan di akhirat. Berikut ini adalah batasan-batasan tersebut:
Pertama, pekerjaan yang dijalani harus halal dan baik. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al Baqarah [2]: 172)
Setiap muslim diperintahkan untuk makan yang halal-halal saja serta hanya memberi dari hasil usahanya yang halal, agar pekerjaan itu mendatangkan kemaslahatan dan bukan justru menimbulkan kerusakan. Itu semua tidak dapat diwujudkan, kecuali jika pekerjaan yang dilakukannya termasuk kategori pekerjaan yang dihalalkan oleh Islam. Maka tidak boleh bagi seorang muslim bekerja dalam bidang-bidang yang dianggap oleh Islam sebagai kemaksiatan dan akan menimbulkan kerusakan. Diantara bentuk pekerjaan yang diharamkan oleh Islam adalah membuat patung, memproduksi khamr dan jenis barang yang memamukkan lainnya, berjudi atau bekerja dalam pekerjaan yang mengandung unsur judi, riba, suap-menyuap, sihir, ternak babi, mencuri, merampok, menipu dan memanipulasi dan begitu pula seluruh pekerjaan yang termasuk membantu perbuatan haram seperti menjual anggur kepada produsen arak, menjual senjata kepada orang-orang yang memerangi kaum muslimin, bekerja di tempat-tempat maksiat yang melalaikan dan merusak moral manusia dan lain sebagainya.
Kedua, bekerja dengan profesional dan penuh tanggungjawab. Islam tidak memerintahkan umatnya untuk sekedar bekerja, akan tetapi mendorong umatnya agar senantiasa bekerja dengan baik dan bertanggungjawab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah mencintai seorang diantara kalian yang jika bekerja, maka ia bekerja dengan baik.” (HR Baihaqi, dinilai shahih oleh Al Albani dalam “Silsilah As Shahihah”)
Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajib-kan perbuatan ihsan atas segala sesuatu.” (HR Muslim)
Yang dimaksud dengan profesional dalam bekerja adalah, merasa memiliki tanggungjawab atas pekerjaan tersebut, memperhatikan dengan baik urusannya dan berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan.
Ketiga, ikhlas dalam bekerja, yaitu meniatkan aktifitas bekerjanya tersebut untuk mencari ridho Allah dan beribadah kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung niat. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR Bukhari Muslim)
Niat sangat penting dalam bekerja. Jika kita ingin pekerjaan kita dinilai ibadah, maka niat ibadah itu harus hadir dalam sanubari kita. Segala lelah dan setiap tetesan keringat karena bekerja akan dipandang oleh Allah sebagai ketundukan dan amal shaleh disebabkan karena niat. Untuk itulah, jangan sampai kita melupakan niat tersebut saat kita bekerja, sehingga kita kehilangan pahala ibadah yang sangat besar dari pekerjaan yang kita jalani itu.
Keempat, tidak melalaikan kewajiban kepada Allah. Bekerja juga akan bernilai ibadah jika pekerjaan apa pun yang kita jalani tidak sampai melalaikan dan melupakan kita dari kewajiban-kewajiban kepada Allah. Sibuk bekerja tidak boleh sampai membuat kita meninggalkan kewajiban. Shalat misalnya. Ia adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Maka, jangan sampai kesibukan bekerja mencari karunia Allah mengakibatkan ia meninggalkan shalat walau pun hanya satu kali. Begitu pula dengan kewajiban yang lainnya, seperti zakat, puasa, haji, bersilaturahmi dan ibadah-ibadah wajib lainnya.
Itulah beberapa prinsip dan etika penting yang harus dijaga oleh siapa saja yang tengah bekerja untuk mencukup diri dan keluarga yang berada dalam tanggungannya. Bekerja adalah tindakan mulia. Keuntungan dunia dapat diraih dengannya. Namun bagi seorang muslim, hendaknya bekerja menjadi memiliki keuntungan ganda, keuntungan di dunia dengan terkumpulnya pundi-pundi kekayaan, dan di akhirat dengan pahala melimpah dan kenikmatan surga karena nilai ibadah yang dikandungnya.
Wallahu a’lam.
Sunday, 28 May 2017
Bagaimana Ibadah Boleh Menentang Mazmumah Dengan Allah..
Jika kita membuat dosa tidak terasa dengan dosa, satu kerana yang dibuat, kedua dosa kerana tidak merasa berdosa.Jika kita mengingati dosa, kita tidak nampak lagi kebaikan kita, apatah lagi untuk dibanggakan.Jika kita selalu mengingati dosa kita, kita tidak nampak dosa orang lain, apatah lagi hendak menceritakannya.
Terhadap mazmumah dengan Allah, langkah langkah mujahadah kita ialah: Membanyakkan ibadah-ibadah hablumminallah seperti sembahyang sunat (dengan faham, khusyuk dan istiqamah), zik rullah, wirid dan tahlil, membaca Al Quran, berdoa, tafakur dan sebagainya.
1. SEMBAHYANG
Perkara penting yang perlu diambil perhatian semasa menunaikan sembahyang hendaklah khusyuk. Ini berpandukan apa yang diingatkan oleh baginda Rasulullah SAW kepada Abu Zar: Ya Abu Zar dua rakaat sembahyang yang dilakukan dengan khusyuk itu lebih baik dari sembahyang sepanjang malam tetapi dengan hati yang lalai. Sembahyang yang khusyuk bolehlah diertikan sembahyang yang sempurna lahir dan batin. Ketika jasad menghadap Allah, hati juga tunduk menyembah Allah. Ketika mulut menyebut Allahu Akbar, hati juga mengaku Allah Maha Besar. Ketika jasad sujud menghina diri, hati juga menyungkur menghina diri. Dan ketika mulut memuji mengagungkan Allah dan berdoa pada Allah, hati juga memuja, merintih dan karam dalam penyerahan pada Allah.
Telah bertanya Jibril pada Nabi SAW: Khabarkan padaku apa itu ihsan ? Dijawab baginda, Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika tidak kelihatan, yakinlah bahawa Dia sentiasa melihat engkau. Kalaulah dapat dihayati sembahyang itu, sebagaimana yang dianjurkan di atas, kesannya akan cukup besar pada diri dan jiwa manusia. Iman akan bertambah di samping bertambahnya rasa tawakal, syukur, redha, sabar dan lain-lain sifat mahmudah.Cukuplah sedikit rakaat sembahyangnya asal khusyuk daripada banyak sembahyang tetapi lalai. Sebab perkara yang menjadi matlamat ibadah ialah membuahkan iman dan akhlak manusia. Kalau banyak pun rakaatnya tetapi dikerjakan dengan hati yang lalai, maka bukan sahaja iman dan akhlak tidak bertambah, malah ia menjadi sia-sia. Mungkin pahalanya Allah berikan juga, tetapi banggakah kita kalau perniagaan yang kita buat hanya mengembalikan modal langsung tidak untung? Sembahyang yang lalai tidak akan menambahkan iman dan menguatkan jiwa sebaliknya meletihkan badan sahaja. Di Padang Mahsyar nanti, Allah akan memanggil manusia yang sembahyang untuk diperiksa sembahyangnya.
Waktu itu sembahyang akan dikategorikan pada lima peringkat:
1. Sembahyang orang jahil.
2. Sembahyang orang lalai.
3. Sembahyang orang yang lalai separuh khusyuk.
4. Sembahyang orang khusyuk.
5. Sembahyang Nabi-Nabi dan Rasul
Sembahyang orang jahil ialah sembahyang yang dilakukan oleh orang yang tiada ilmu tentang sembahyang. Dia tidak tahu tentang rukun dan sunat dan dibuat tanpa peraturan yang telah ditetapkan syariat. Kerana itu awal awal lagi sembahyangnya ditolak malah ia berdosa kerana tidak belajar.
Sembahyang orang lalai ialah sembahyang yang walaupun sempurna lahirnya tetapi hatinya tidak hadir langsung dalam sembahyang. Bermacam macam perkara yang diingatkan sewaktu berdiri, rukuk, sujud dan duduk dalam sembahyangnya itu. Dari awal hingga akhir sembahyangnya sedikit pun tidak mengingati Allah. Sembahyang jenis ini diganjarkan dengan dosa bukan dengan pahala. Allah berfirman: Neraka Wail bagi orang yang sembahyang. Yang mereka itu lalai dalam sembahyangnya.(Al Maaun: 4-5)
Sembahyang yang ketiga ialah sembahyang yang di dalamnya berlaku tarik menarik dengan syaitan. Maknanya orang itu sentiasa berjaga bila syaitan mula melalaikannya dari Allah, cepat-cepat dikembalikan ingatannya pada Allah. Begitulah seterusnya berlakunya hingga akhir sembahyang. Ada waktu lalai dan ada waktu khusyuk. Sembahyang ini tidak berdosa dan tidak juga berpahala. Cuma orang itu dimaafkan.
Sembahyang orang khusyuk ialah sembahyang orang yang sepanjang sembahyangnya itu penuh dengan ingatan pada Allah dan pada apa yang dibacakannya dalam sembahyang.Orang ini dapat merasakan yang dia sedang mengadap Allah, maka perhatiannya hanya pada Allah. Orang ini sembahyangnya bererti janjinya pada Allah, memohon ampun pada Allah, berdoa pada Allah, menghina diri pada Allah dan mengagungkan Allah. Sembahyang beginilah yang akan menghapuskan dosa, membaharui ikrar, menguatkan iman, mendekatkan hati pada Allah, meningkatkan taqwa dan mengelakkan diri dari perbuatan keji dan mungkar. Itulah keuntungan di dunia dan di akhirat Allah menganugerahkan pahala syurga yang penuh kenikmatan.
Sembahyang yang kelima ialah peringkat tertinggi iaitu sembahyang para Nabi dan Rasul. Mereka ini luar biasa khusyuknya. Mereka benar-benar nampak Allah dengan mata hati. Dalam sembahyang mereka seakan-akan sedang berbual-bual dengan Allah. Sebab itu mereka tidak pernah jemu dengan sembahyang. Bagaimana indahnya perasaaan hati orang yang dapat bertemu kekasihnya, begitulah indahnya perasaan mereka ini dalam sembahyang. Salah satu perkara utama yang disukai oleh Rasulullah SAW ialah sembahyang. “Sembahyang penyejuk mataku," menurut sabda baginda. Syurga yang akan Allah anugerahkan pada mereka ialah syurga tertinggi yang tidak tercapai oleh orang-orang awam seperti kita. Jadi tugas kita sekarang ialah memperbaiki sembahyang di samping membanyakkannya. Untuk itu kita sekali lagi mesti mujahadah. Dan hanya dengan mujahadah kita mungkin dapat mempertingkatkan iman dan membanyakkan amalan soleh. Dan hanya dengan iman dan amal soleh sajalah kita dapat membina dan mencantikkan rumah kita di akhirat nanti.
2. ZIKRULLAH, WIRID DAN TAHLIL
Semua ibadah-ibadah zikrullah ini kalau dikerjakan dengan betul akan meresap ke hati dan menghasilkan iman, ketenangan, serta kebahagiaan di hati. Firman Allah: Ketahuilah bahawa dengan meng ingati Allah itu, hati akan tenang.(Ar Ra’d: 28)
Syaratnya mestilah ibadah itu dilakukan dengan beradab, difahami dan dihayati maksudnya. Misalnya kita menyebut mestilah diberitahu hati bahawa Maha Suci Allah dari kekurangan yang disifatkan pada-Nya. Bila menyebut resapkan di hati bahawa segala puji bagi Allah, segala kebaikan, nikmat dan rahmat yang memenuhi langit dan bumi adalah kepunyaan Allah. Kenangkan segala pemberian Allah pada kita semasa menyebut pujian itu supaya dengan itu akan terasa hubungan kita dengan Allah. Begitu juga ketika menyebut sedarkan hati bahawa Allah Maha Besar, Maha Pencipta, Maha Perkasa dan Maha Pentadbir seluruh langit dan bumi. Rasailah betapa kerdilnya kita di bawah pemerhatian Allah yang hebat itu.
3. MEMBACA QURAN
Al Quran ialah Kitabullah, diturunkan khusus untuk kita manusia. Membacanya adalah ibadah, memahaminya ialah ubat, mengikutinya adalah petunjuk dan menghayatinya menambah iman dan taqwa.Rugi besarlah orang yang menganggap dan ringan dengan Al Quran. Bertanya Allah dalam surah Al Waaqiah: Sesungguhnya Al Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia. Terdapat dalam kitab yang terpelihara (lauhul mahfuz). Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam. Maka apakah kamu mengangap remeh sahaja Al Quran ini? Kamu (mengganti) rezeki (Allah) dengan mendustakan Allah. (Al Waaqiah: 77-82)
Umat Islam kini memang begitu, menyama-ratakan kitab mulia ini dengan buku ciptaan manusia. Sewaktu-waktu, Al Quran dipermainkan untuk suka- suka dengan tujuan duniawi semata-mata. Alangkah sedihnya. Kembalilah, sama-sama kita junjung pusaka mulia, warisan yang betul-betul diuntukkan pada kita. Kita agungkan seagung-agungnya untuk kita perju- angkan sungguh-sungguh. Barulah padan dengan kemuliaan dan kehebatan yang ada padanya. Di antara adabadab yang perlu dilakukan ketika kita membaca Kitab mulia ini ialah:
• Berwuduk.
•Tempat duduk adalah bersih dan suci seperti masjid, surau dan lain-lain.
• Mengadap kiblat. •
Bacaan dilakukan dengan tertib yakni dengan terang dan perlahan dan lambat-lambat.
• Memahami dan menghayati bacaan dengan melakukan apa yang dikehendaki oleh ayat yang dibaca.
Misalnya kita baca ayat tasbih, maka kita pun berdoa dan bertasbih. Bila membaca ayat doa dan istighfar, kita pun berdoa dan meminta ampun. Bila membaca ayat menceritakan azab Neraka, kita pun minta berlindung dari Neraka dengan doa. Bila membaca ayat yang menceritakan nikmat syurga kita pun berdoa. Bila baca ayat orang kafir mensyirikkan Allah, kita segera menafikan dengan ucapan dan begitulah seterusnya. Ucapan-ucapan ini boleh diucapkan di mulut atau di hati tetapi yang penting kesungguhan dan keikhlasan kita menyebutnya (mengucap kannya). Bacaan dibuat dengan suara dan nada yang merdu dan sedap. Jangan putuskan bacaan hanya kerana hendak makan atau berbual-bual. Hentikan ia di tempat-tempat yang telah ditentukan. Elok diakhiri dengan doa. Sesungguhnya kalau kandungan Al Quran itu ditatap selalu dengan kefahaman dan keimanan, Insya-Allah hati akan terdidik untuk tambah beriman dan bertaqwa.
4. BERDOA
Berdoa juga adalah ibadah, juga sumber iman dan pergantungan diri kepada Allah. Orang-orang yang tidak mahu berdoa kepada Allah sebenarnya sombong dengan Allah. Bukankah terlalu banyak hajat, keinginan dan harapan kita yang hanya mungkin tercapai dengan pertolongan Allah? Kalau begitu, berdoalah. Adukan semua masalah kepada Allah dan gantungkan harapan penuh kepadaNya. Berdoalah di tempat-tempat dan di waktu- waktu yang di “kabul doa” dengan hati yang penuh khusyuk, mengharap dan yakin serta sabar, insya- Allah ia akan menjadi sumber ketenangan dan kebahagiaan. Sebab sudah fitrah manusia apabila ia dalam kesusahan ia akan mengalami ketegangan fikiran dan perasaan. Satu-satunya cara mengubat penyakit ini ialah dengan mengadu, mengharap dan menyandar- kan diri kepada suatu kuasa yang boleh menolong- nya menyelesaikan masalah itu. Kerana itu, Islam mengajar doa. Sebab hanya Allah-lah kuasa mutlak yang layak dan mampu ber- buat begitu. Faedah berdoa ialah jiwa yang lemah akan jadi kuat, hati yang susah jadi senang dan perasaan yang gelisah jadi tenang.
Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: Berfikir satu saat itu lebih baik daripada ibaduh setahun. Anjuran berfikir bertujuan menyedarkan manusia tentang sifat wujud Allah dan Maha Kuasanya Allah. Perkara-perkara yang elok difikirkan ialah tentang diri sendiri. Allah mulakan kejadian kita hanya daripada setitik air mani. Harga setitik air mani adalah lebih rendah daripada harga sebiji padi kalaulah Allah tidak menanamkannya di dalam rahim perempuan. Tidak juga akan berharga kalau Allah tidak memelihara, menghidupkannya dengan memberi segala keperluan untuk tinggal di dalam rahim. Belum juga akan berharga sekiranya Allah tidak memudahkan baginya keluar ke atas bumi. Dan belum juga akan berharga kalau Allah tidak besarkan serta diberi akal fikiran. Dengan akal yang Allah kurniakan manusia jadi raja, menteri, hulubalang, pengawal keselamatan, ahli fikir, professor, doktor, juruteknik, jurutera, pensya rah, guru dan lain-lain yang pandai, kuat, kaya dan hidup lepas bebas. Dengan akal fikiran, manusia telah dapat meratakan gunung, membelah angkasa, menyelami laut an dan memperkosa bumi semahu-mahunya. Tetapi tidak selamanya begitu. Kita tidak akan boleh sema hu-mahunya dan tidak selama yang kita kehendaki. Kita mesti mati. Kenapa tidak dihalang mati itu? Tidak mungkin, sepertilah tidak mungkinnya kita mendatangkan diri kita ke dunia ini dahulu.
Firman Allah dalam Al Quran: Allah, Dialah yang menciptakan kamu daripada keadaan lemah kemudian Dia menjadikan kumu sesudah lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan(kamu) sesudah kuat itu lemah (kernbali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa. (Ar Rum: 54) Sesudah mati, Allah berjanji untuk menghidup kan dan membangkitkan kita kembali di hari Qiamat. Apakah alasan untuk tidak percaya akan janji Allah itu? Siapakah kita untuk menolak kedatangannya? Firman Allah: Tidaklah(susah) menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) melainkan hanya seperti (mencipta dan membangkitkan) satu jiwa sahaja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(Luqman: 28)
Fikirkan pula nikmat-nikmat Allah saat ini. Mata, telinga, kaki, tangan semuanya yang sangat penting untuk keperluan hidup, Allah kurniakan tanpa menagih bayaran satu sen pun daripada kita. Walhal harga sepasang kaki palsu sudah beribu-ribu ringgit, gigi palsu juga mahal. Maka apalagi mata, telinga, hati, lidah dan akal yang Allah kurniakan, tentunya memang tidak ternilai. Dengan apa hendak dibalas pemberian yang begitu besar? Fikirkan pula apakah sudah kita berterimakasih kepada Allah? Sudahkah kita tunaikan suruhan-Nya? Sudahkah kita berhenti daripada membuat perkara-perkara yang dilarang-Nya? Sudah cukupkah bakti kita sebagai hamba untuk membalas kemurahan dan kasih sayang Allah pemelihara kita itu?
Bersabda Rasulullah SAW: Tiga perkara ini, sesiapa yang memilikinya akan mendapat kemanisan iman: menyintai Allah dan Rasul lebih daripada lainnya, mencintai seseorang semata-mata kerana Allah, benci kembali kepada kekufuran sepertimana benci dicampak ke Neraka. (Riwayat: Ahmad, Al Bukhari dan Muslim, At Tarmizi, An Nasai dan Ibnu Majah)
Diceritakan, telah meninggal seorang abid lalu Allah memanggilnya untuk diberitahu bahawa dia akan dimasukkan ke syurga sebagai satu kemurahan dan rahmat Allah kepadanya. Mendengarkan itu, si abid merasa tidak puas hati kerana ia dapat ke syurga hanya melalui belas kasihan Allah sedangkan di dunia dia begitu kuat ibadah. Si abid lalu memohon dimasukkan ke syurga yang setimpal dengan amal ibadahnya yang banyak itu. Allah SWT memerintahkan malaikat menghitung dan menilai ibadah si abid itu. Bila selesai, Allah mengumumkan bahawa ibadah-ibadah yang dibuat oleh si abid itu tidakpun cukup untuk membayar harga sebelah matanya. Bagaimana untuk mendapatkan syurga? Si abid pun tersipu-sipu lalu memohon agar berpeluang masuk ke syurga. Demikian satu contoh menunjukkan nilai amal bakti kita ini masih belum sepadan dengan pembe rian Allah pada kita, malah kalaupun setiap saat dari umur kita, kita gunakan untuk menghambakan diri kepada Allah pun belum padan. Apalagi kalau seseorang yang sombong, engkar dan derhaka kepada Allah.
Sesuai sangatiah Allah lontarkan dalam api dan tersiksa selama-lamanya. Lihat pula beras yang kita jadikan nasi. Dapatkah pokok padi itu tumbuh dengan sendiri kalau Allah tidak diturunkan hujan dan kalau tanah tidak dire kahkan supaya biji yang didalam tanah itu dapat menembus naik untuk mendapatkan cahaya matahari?
Dapatkah manusia membuat air?
Dapatkah manusia melubangi tanah dengan sehalus-halusnya hingga akar pokok itu dapat menjalar mencari makanan dan minumannya?
Manusia menanam, tetapi siapa yang menumbuhkannya?
Sesudah berfikir dan membuat kesimpulan, patutlah hati terus celik, nampak kewujudan, kemurahan dan kekuasaan Allah SWT. Sepatutnya hati akan menyedarkan akal tentang perlunya Allah itu disembah. Hati selanjutnya akan mengarahkan kaki, tangan dan seluruh anggota lahir menunaikan perintah Allah dan berhenti daripada mengerjakan larangan-Nya. Kalau tidak begitu, patut sangat ditangisi kerana butanya hati yang sebenarnya lebih parah daripada buta mata. Kemudian dongakkan muka ke langit. Lihat matahari yang naik dan turun, memberi panas dan menjadikan waktu yang bermusim-musim. Bulan yang kecil dan besar, menjadikan malam kadang-kadang gelap dan kadang-kadang-terang, menjadikan air laut pasang dan surut. Lihat bintang-bintang yang berkerdipan menghiasi langit berseri-seri. Lihat semua itu dan sebutlah Allah. Resapkan di hati berapa besar kuasanya Dia dan pemurahnya Dia.Dengan itu mudah-mudahan lembutlah hati kita untuk tunduk menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah. Bersabda Rasulullah SAW maksudnya: Siapa yang mendongak ke langit melihat bulan dan bintang kemudian terasa betapa kuasanya Allah, muka sebanyak bilangan bintang-bintangnya itulah dosanya diampunkan.
Seseorang yang melihat alam kemudian berfikir tentang Allah lalu terasa kehebatan Allah hingga lembut hatinya, terus mahu tunduk menyembah Allah dengan sedar dan khusyuk, itulah manusia yang sempurna. Dia sedar dirinya sebagai barang ciptaan Allah maka ia mahu menyerahkan kembali pemberian itu kepada Allah. Berjayalah dia di dunia dan akhirat. Di dalam Al Quran Allah berulang-ulang kali menyuruh manusia berfikir, menggunakan akal yang diberikan untuk menyaksikan wujud dan perkasanya Allah. Firman-Nya: Tidakkah kamu Perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan (untuk kepentinganmu) apa yang di langit dan di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmut-Nya lahir dun batin. Dan sebahagian manusia masih ada yang membantah tentang keesaan Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan kitab yang memberi penerangan. (Luqman: 20)
Firman Allah dalam Surah Ar-Rum: Dan di antara kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan mera- sa tenteram kepadanya dan dijadikannya di antara kamu kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu sebagai bahan renungan lagi kaum yang berfikir. (Ar Rum: 21) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak (menguasai bumi). (Ar Rum: 20) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nyd ialah penciptaan langit dan bumi dan begitu juga berlain-lainan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu sebagai bahan renungan bagi orang-orang yang mengetahui. (Ar Rum: 22) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengar. (Ar Rum: 23) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan dan Dia menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergu nakan akalnya. (Ar Rum: 24) Dan di antara tanda-tanda ke kuasaan-Nya ialah terbinanya langit dan bumi dengan perintah-Nya. Kemudian apabila Dia memanggilmu dengan sekali panggilan dari bumi, ketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).(Ar Rum: 25)
Seperkara lagi yang patut difikirkan ialah tentang dosa kita kepada Allah dan sesama manusia. Berapa banyak dosa kita kepada Allah dan sesama manusia? Selamatkah kita daripada siksaan dan kemurkaan Allah di dunia dan di Akhirat? Mampukah kita berhadapan dengan Munkar dan Nakir di dalam kubur nanti? Tahankah kita dengan bakaran api Neraka? Fikirkan itu selalu, insya-Allah akan melembutkan hati. Kemudian terapkan keyakinan yang sungguh- sungguh bahawa mati itu benar, memasuki liang kubur itu adalah benar, soalan Munkar dan Nakir itu adalah benar. Melintasi Siratul Mustaqim itu benar, pembalasan siksa Neraka dan nikmat Syurga adalah benar belaka. Pasti berlaku tanpa syak dan ragu. Sekiranya penerangan itu diulang-ulang setiap hari, insya-Allah hati akan dimasuki iman yang waja yang tidak mudah digoyangkan walau dengan ribut taufan yang kuat dan dahsyat. Usaha lain yang baik dibuat untuk mendapatkan iman ialah berpuasa sunat, berjuang, berjihad, bersedekah, menziarahi orang sakit atau jenazah dan lain-lain lagi. Kalau amalan-amalan itu dilakukan mengikut adab dan tujuan yang dianjurkan syariat, semuanya akan menambahkan iman. Perlu pula diingatkan bahawa setiap dosa sama ada kecil apalagi besar ialah perosak dan peruntuh iman.
Rasulullah SAW bersabda: Bukanlah seseorang yang berzina ketika berzina seorang mukmin. (Riwayat Al Bukhari dan Muslim)
Ertinya seseorang yang sedang berzina itu rosak dan hilanglah imannya. Jadi bagi orang yang betul- betul mahu memelihara dan meningkatkan imannya janganlah melakukan dosa. Kalau terbuat, cepatcepat istighfar, menyesal dan taubat. Iman juga boleh berkurang sesudah naik atau boleh naik sesudah turun. Inilah sifat iman kita iman orang ilmu. Sebab itu supaya tidak mengalami penurunan, iman mesti dibaja selalu dengan cara-cara yang banyak dihuraikan di atas.
Sesiapa yang rajin, selamatlah ia, sebaliknya sesiapa yang cuai akan terimalah akibatnya. Saya tegaskan bahawa ibadah-ibadah di atas mesti dilakukan dengan khusyuk dan tawadhuk. Kalau tidak, ibadah itu tidak akan bererti apa-apa. Umpama orang yang lapar mengambil nasi hanya untuk dimain-main tanpa disuapkan ke mulut. Akan hilang- kah laparnya? Begitulah ibadah, kalau tidak dihayati, roh tidak akan memperolehi apa-apa. Lebih baik tidak sembahyang sunat kalau gopoh-gapah. Sudahlah kita tidak beradab dengan Allah, kesan sembahyang pada hati itu pula tidak ada. Tetapi dengan ibadah-ibadah yang khusyuk kita akan membiasakan hati untuk:
• Membesarkan Allah,
• Mengenal Allah,
• Menghina diri dan malu dengan Allah,
• Takut ancaman Allah dan harap nikmat Allah,
• Terasa diawasi oleh Allah,
• Terasa gerun dan hebat dengan Allah dan cinta kepada-Nya.
Bila sudah masuk perasaan-perasaan begitu dalam hati dengan sendirinya hati kita akan beramal baik:
1. Bila kita menerima nasib buruk, kita akan redha sebab kita yakin Allah yang mentakdirkannya dan Allah cukup adil, pengasih dan setiap takdir-Nya adalah membawa kebaikan dan bukan untuk menganiaya dan menyeksakan kita. Lagi pun nasib buruk itu hanya satu manakala nikmat-nikmat lain pula tidak terhitung banyaknya.
2. Bila datang ujian kita akan sabar. Allah menguji kita atas dua maksud:
A. Untuk menghapuskan dosa. Kita memang berdosa sama ada disedari atau tidak. Jadi patutlah diuji untuk ingatkan kita bahwa kejahatan itu jangan dibuat lagi. Balasan di dunia pun rasanya tidak tahan apalagi balasan Neraka. Bagaimanapun kita terimalah balasan (ujian Allah itu) dengan tenang sambil mengharapkan ujian itu akan berakhir dan dosa kita terampun dan kita akan tenang semula.
B. Untuk meninggikan darjat kita. Kita cukup suka kalau dapat naik pangkat. Jadi kalau ada ujian-ujiian Allah yang bermaksud menguji kesabaran kita supaya dinaikkan darjat kita maka patutlah sangat kita terima, sabar dan senang hati dengannya.
3. Bila datang nikmat Allah sama ada lahir atau batin, kita akan bersyukur. Kita akan rasa keselesaan lahir kita dan ketenangan jiwa kita semuanya pemberian Allah (kuasa Allah dan nikmat daripada-Nya) .Kita tidak akan dapat mengadakan sendiri tanpa izin dan pertolongan Allah. Sebab itu kita sentiasa rasa berterima kasih kepada Allah. Perasaan itu menolong kita untuk ingat serta cinta kepada Allah serta redha kepada kehendak-Nya di samping membanyakkan ibadah-ibadah yang disukai-Nya serta ingin mengorbankannya kepada Allah sebagai tanda syukur kepada-Nya.
4. Setiap kali selesai berusaha, berikhtiar dan beribadah kepada Allah, kita akan menyerahkannya kepada Allah sebagai hak mutlak-Nya untuk ditentukan hasilnya baik atau buruk, jaya atau gagal. Hatta diri kita ini berada dalam tangan-Nya. Kita serah kepada-Nya dan baik sangka kepada-Nya untuk diaturkan mengikut kehendak-Nya juga.
5. Setiap kali kita buat dosa, kita akan takut kepada Allah. Hukuman Allah di dunia dan di Akhirat pasti berjalan kepada sesiapa yang berdosa. Maka hendaklah kita bertaubat (menyesal dan berjanji tidak akan membuatnya lagi). Kemudian, harapkan pula pengampunan Allah kerana Allah adalah Tuhan yang Maha Pemaaf, Maha Sopan Santun dan Lemah-Lembut.
6. Kita akan sentiasa beradab dan malu dengan Allah yakni sentiasa menunaikan kehendak-Nya dengan penuh takut, rindu, harap dan cinta kepada- Nya dan cukup malu untuk sombong kepada-Nya, membelakangkan-Nya dan menjauhi-Nya. Ertinya kita sentiasa tawadhuk dengan Allah, khusyuk, berhati- hati, bimbang dan cemas kalau-kalau tersilap dengan Allah.
7. Kita juga akan sentiasa merenung dan menyesali diri, apakah kita sudah mendapat keredhaan Allah dan keampunan daripada-Nya. Kita yang selalu lalai, cuai dan lemah serta berdosa ini, layakkah mendapat keredhaan dan pengam- punan-Nya? Masa ibadah kita terlalu pendek dibandingkan dengan masa kita berbual-bual kosong, berangan-angan fikir hendak luaskan dunia kita, bermegah-megah dengan harta, anak dan pengikut dan lain-lain kelalaian lagi.
8. Layakkah kita ini masuk ke dalam Syurga? Belum pernah tercabut roma kita kerana berjuang di jalan Allah sedang ahli syurga seperti Nabi dan para sahabat pernah tercabut gigi, pecah muka, remuk tulang dan hilang nyawa kerana berjuang mempertahankan agama Allah. Pengorbanan apa yang telah kita buat yang kehebatannya mampu menebus kita dari api neraka?
9. Setiap kali apa-apa yang kita ingini, tidak kita perolehi, kita akan redha sebab kita sedar bukan kita yang menunaikan hajat tetapi Allah. Dialah yang memberi rezeki dan menyempitkannya. Sebab itu kita tenang, kita redha dan sabar dengan kehendak Allah. Kita rasa lemah, kita tidak mampu menunaikan hajat sendiri tanpa bantuan Allah dan kita rasa malu pula untuk tidak redha dengan Allah. Siapa kita? Nyawa yang masih ada ini pun Allah punya. Kalau Allah matikan kita lagi teruk. Semuanya terlepas. Kerana itu kita rasa tidak mengapalah nikmat yang sedikit itu Allah tidak beri. Kita hanya boleh meminta bukan memaksa. Meminta sifat hamba dan memaksa itu sifat tuan. Kalaulah perasaan-perasaan (amalan-amalan batin) itu tidak ada dalam jasad batin kita, itu tanda- nya mujahadah kita tidak kuat dan ibadah kita tidak sampai matlamatnya (untuk mendidik jiwa) . Kenalah ditambah usaha lagi. Kalau ibadah cukup dan sampai matlamat, kita akan jadi orang yang bahagia, tenang dan selamat daripada sakit jiwa. Bukan kerana kita kaya, ternama dan terhormat, tetapi kerana hati kita puas dengan apa yang ada:
• Sakit pun bahagia apa lagi sihat
• Miskin pun bahagia apalagi kaya
• Seorang pun bahagia apalagi kalau berpengi kut
• Dihina pun bahagia apa lagi dipuja. Tetapi kalau hati yang tidak bersih (tidak kenal Allah), tidak berhakikat (tasawuf), dia tidak akan rasa bahagia, dia tidak pernah puas dengan nasibnya:
• Kaya pun tidak bahagia apalagi kalau miskin
• Sihat pun tidak bahagia apalagi kalau sakit
• Disanjung pun tidak bahagia apalagi kalau dihina
• Ada pengikut pun tidak bahagia apalagi kalau keseorangan.
Orang yang boleh mendapat kebahagiaan sebenarnya hanyalah orang yang mempunyai tasawuf (kerohanian) yang tinggi. Merekalah yang membangunkan dan mendapatkan syurga untuk dunia dan Akhirat mereka. Amalan-amalan mereka lahir dan batin menyela- matkan mereka di dunia dan Akhirat. Hati mereka yang selamat di dunia itu jugalah yang akan selamat di Akhirat. Merekalah yang mendapat kemanisan iman, kelazatan beribadah kerana hatinya benar-benar cinta Allah dan Rasul dan benci kepada mungkar dan maksiat. Bersabda Rasulullah SAW: Tiga perkara ini, sesiapa yang memilikinya akan mendapat kemanisan iman: 1. Menyintai Allah dan Rasul lebih daripada lainnya. 2. Mencintai seseorang semata-mata kerana Allah. 3. Benci kembali kepada kekufuran sepertimana benci dicampak ke Neraka. (Riwayat: Ahmad, Al Bukhari dan Muslim, At Tarmizi, An Nasai dan Ibnu Majah)
Bila mendapat kemanisan iman, penderitaan menjadi kecil dan dunia tidak ada ruang dalam hatinya. Hatinya asyik dengan Allah. Ini berlaku pada sahabat-sahabat Rasulullah. Bilal, waktu dijemur di tengah panas serta diazab untuk dipaksa kembali kepada kekufuran, dengan tenang dia menjawab, “Ahad, Ahad.” Azab tidak terasa azab lagi. Ini juga berlaku pada seorang sahabat. Untanya dicuri orang di waktu malam semasa sedang bersembahyang. Dia tidak menghentikan sembahyangnya. Dia terasa kemanisan iman dan ibadah hingga lupa bertindak terhadap pencuri itu. Cerita lain, ada dua orang sahabat yang Rasulullah lantik mengawal tentera Muslimin di satu peperangan di waktu malam. Seorang tidur sementara seorang lagi jaga danbersembahyang. Tiba-tiba datang spy musuh, dan ternampaklah kedua sahabat tadi lalu ia menarik busar panah dan memanah sahabat yang sedang sembahyang. Sahabat itu tidak memutuskan sembahyangnya. Dipanah lagi, sampailah kali ketiga barulah dibangunkan sahabatnya dan berkata, “Kalau tidak takut menimpa umat Islam nescaya aku tidak berhenti sembahyang.”
Begitulah kemanisan iman yang dirasai.
Terhadap mazmumah dengan Allah, langkah langkah mujahadah kita ialah: Membanyakkan ibadah-ibadah hablumminallah seperti sembahyang sunat (dengan faham, khusyuk dan istiqamah), zik rullah, wirid dan tahlil, membaca Al Quran, berdoa, tafakur dan sebagainya.
1. SEMBAHYANG
Perkara penting yang perlu diambil perhatian semasa menunaikan sembahyang hendaklah khusyuk. Ini berpandukan apa yang diingatkan oleh baginda Rasulullah SAW kepada Abu Zar: Ya Abu Zar dua rakaat sembahyang yang dilakukan dengan khusyuk itu lebih baik dari sembahyang sepanjang malam tetapi dengan hati yang lalai. Sembahyang yang khusyuk bolehlah diertikan sembahyang yang sempurna lahir dan batin. Ketika jasad menghadap Allah, hati juga tunduk menyembah Allah. Ketika mulut menyebut Allahu Akbar, hati juga mengaku Allah Maha Besar. Ketika jasad sujud menghina diri, hati juga menyungkur menghina diri. Dan ketika mulut memuji mengagungkan Allah dan berdoa pada Allah, hati juga memuja, merintih dan karam dalam penyerahan pada Allah.
Telah bertanya Jibril pada Nabi SAW: Khabarkan padaku apa itu ihsan ? Dijawab baginda, Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika tidak kelihatan, yakinlah bahawa Dia sentiasa melihat engkau. Kalaulah dapat dihayati sembahyang itu, sebagaimana yang dianjurkan di atas, kesannya akan cukup besar pada diri dan jiwa manusia. Iman akan bertambah di samping bertambahnya rasa tawakal, syukur, redha, sabar dan lain-lain sifat mahmudah.Cukuplah sedikit rakaat sembahyangnya asal khusyuk daripada banyak sembahyang tetapi lalai. Sebab perkara yang menjadi matlamat ibadah ialah membuahkan iman dan akhlak manusia. Kalau banyak pun rakaatnya tetapi dikerjakan dengan hati yang lalai, maka bukan sahaja iman dan akhlak tidak bertambah, malah ia menjadi sia-sia. Mungkin pahalanya Allah berikan juga, tetapi banggakah kita kalau perniagaan yang kita buat hanya mengembalikan modal langsung tidak untung? Sembahyang yang lalai tidak akan menambahkan iman dan menguatkan jiwa sebaliknya meletihkan badan sahaja. Di Padang Mahsyar nanti, Allah akan memanggil manusia yang sembahyang untuk diperiksa sembahyangnya.
Waktu itu sembahyang akan dikategorikan pada lima peringkat:
1. Sembahyang orang jahil.
2. Sembahyang orang lalai.
3. Sembahyang orang yang lalai separuh khusyuk.
4. Sembahyang orang khusyuk.
5. Sembahyang Nabi-Nabi dan Rasul
Sembahyang orang jahil ialah sembahyang yang dilakukan oleh orang yang tiada ilmu tentang sembahyang. Dia tidak tahu tentang rukun dan sunat dan dibuat tanpa peraturan yang telah ditetapkan syariat. Kerana itu awal awal lagi sembahyangnya ditolak malah ia berdosa kerana tidak belajar.
Sembahyang orang lalai ialah sembahyang yang walaupun sempurna lahirnya tetapi hatinya tidak hadir langsung dalam sembahyang. Bermacam macam perkara yang diingatkan sewaktu berdiri, rukuk, sujud dan duduk dalam sembahyangnya itu. Dari awal hingga akhir sembahyangnya sedikit pun tidak mengingati Allah. Sembahyang jenis ini diganjarkan dengan dosa bukan dengan pahala. Allah berfirman: Neraka Wail bagi orang yang sembahyang. Yang mereka itu lalai dalam sembahyangnya.(Al Maaun: 4-5)
Sembahyang yang ketiga ialah sembahyang yang di dalamnya berlaku tarik menarik dengan syaitan. Maknanya orang itu sentiasa berjaga bila syaitan mula melalaikannya dari Allah, cepat-cepat dikembalikan ingatannya pada Allah. Begitulah seterusnya berlakunya hingga akhir sembahyang. Ada waktu lalai dan ada waktu khusyuk. Sembahyang ini tidak berdosa dan tidak juga berpahala. Cuma orang itu dimaafkan.
Sembahyang orang khusyuk ialah sembahyang orang yang sepanjang sembahyangnya itu penuh dengan ingatan pada Allah dan pada apa yang dibacakannya dalam sembahyang.Orang ini dapat merasakan yang dia sedang mengadap Allah, maka perhatiannya hanya pada Allah. Orang ini sembahyangnya bererti janjinya pada Allah, memohon ampun pada Allah, berdoa pada Allah, menghina diri pada Allah dan mengagungkan Allah. Sembahyang beginilah yang akan menghapuskan dosa, membaharui ikrar, menguatkan iman, mendekatkan hati pada Allah, meningkatkan taqwa dan mengelakkan diri dari perbuatan keji dan mungkar. Itulah keuntungan di dunia dan di akhirat Allah menganugerahkan pahala syurga yang penuh kenikmatan.
Sembahyang yang kelima ialah peringkat tertinggi iaitu sembahyang para Nabi dan Rasul. Mereka ini luar biasa khusyuknya. Mereka benar-benar nampak Allah dengan mata hati. Dalam sembahyang mereka seakan-akan sedang berbual-bual dengan Allah. Sebab itu mereka tidak pernah jemu dengan sembahyang. Bagaimana indahnya perasaaan hati orang yang dapat bertemu kekasihnya, begitulah indahnya perasaan mereka ini dalam sembahyang. Salah satu perkara utama yang disukai oleh Rasulullah SAW ialah sembahyang. “Sembahyang penyejuk mataku," menurut sabda baginda. Syurga yang akan Allah anugerahkan pada mereka ialah syurga tertinggi yang tidak tercapai oleh orang-orang awam seperti kita. Jadi tugas kita sekarang ialah memperbaiki sembahyang di samping membanyakkannya. Untuk itu kita sekali lagi mesti mujahadah. Dan hanya dengan mujahadah kita mungkin dapat mempertingkatkan iman dan membanyakkan amalan soleh. Dan hanya dengan iman dan amal soleh sajalah kita dapat membina dan mencantikkan rumah kita di akhirat nanti.
2. ZIKRULLAH, WIRID DAN TAHLIL
Semua ibadah-ibadah zikrullah ini kalau dikerjakan dengan betul akan meresap ke hati dan menghasilkan iman, ketenangan, serta kebahagiaan di hati. Firman Allah: Ketahuilah bahawa dengan meng ingati Allah itu, hati akan tenang.(Ar Ra’d: 28)
Syaratnya mestilah ibadah itu dilakukan dengan beradab, difahami dan dihayati maksudnya. Misalnya kita menyebut mestilah diberitahu hati bahawa Maha Suci Allah dari kekurangan yang disifatkan pada-Nya. Bila menyebut resapkan di hati bahawa segala puji bagi Allah, segala kebaikan, nikmat dan rahmat yang memenuhi langit dan bumi adalah kepunyaan Allah. Kenangkan segala pemberian Allah pada kita semasa menyebut pujian itu supaya dengan itu akan terasa hubungan kita dengan Allah. Begitu juga ketika menyebut sedarkan hati bahawa Allah Maha Besar, Maha Pencipta, Maha Perkasa dan Maha Pentadbir seluruh langit dan bumi. Rasailah betapa kerdilnya kita di bawah pemerhatian Allah yang hebat itu.
3. MEMBACA QURAN
Al Quran ialah Kitabullah, diturunkan khusus untuk kita manusia. Membacanya adalah ibadah, memahaminya ialah ubat, mengikutinya adalah petunjuk dan menghayatinya menambah iman dan taqwa.Rugi besarlah orang yang menganggap dan ringan dengan Al Quran. Bertanya Allah dalam surah Al Waaqiah: Sesungguhnya Al Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia. Terdapat dalam kitab yang terpelihara (lauhul mahfuz). Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam. Maka apakah kamu mengangap remeh sahaja Al Quran ini? Kamu (mengganti) rezeki (Allah) dengan mendustakan Allah. (Al Waaqiah: 77-82)
Umat Islam kini memang begitu, menyama-ratakan kitab mulia ini dengan buku ciptaan manusia. Sewaktu-waktu, Al Quran dipermainkan untuk suka- suka dengan tujuan duniawi semata-mata. Alangkah sedihnya. Kembalilah, sama-sama kita junjung pusaka mulia, warisan yang betul-betul diuntukkan pada kita. Kita agungkan seagung-agungnya untuk kita perju- angkan sungguh-sungguh. Barulah padan dengan kemuliaan dan kehebatan yang ada padanya. Di antara adabadab yang perlu dilakukan ketika kita membaca Kitab mulia ini ialah:
• Berwuduk.
•Tempat duduk adalah bersih dan suci seperti masjid, surau dan lain-lain.
• Mengadap kiblat. •
Bacaan dilakukan dengan tertib yakni dengan terang dan perlahan dan lambat-lambat.
• Memahami dan menghayati bacaan dengan melakukan apa yang dikehendaki oleh ayat yang dibaca.
Misalnya kita baca ayat tasbih, maka kita pun berdoa dan bertasbih. Bila membaca ayat doa dan istighfar, kita pun berdoa dan meminta ampun. Bila membaca ayat menceritakan azab Neraka, kita pun minta berlindung dari Neraka dengan doa. Bila membaca ayat yang menceritakan nikmat syurga kita pun berdoa. Bila baca ayat orang kafir mensyirikkan Allah, kita segera menafikan dengan ucapan dan begitulah seterusnya. Ucapan-ucapan ini boleh diucapkan di mulut atau di hati tetapi yang penting kesungguhan dan keikhlasan kita menyebutnya (mengucap kannya). Bacaan dibuat dengan suara dan nada yang merdu dan sedap. Jangan putuskan bacaan hanya kerana hendak makan atau berbual-bual. Hentikan ia di tempat-tempat yang telah ditentukan. Elok diakhiri dengan doa. Sesungguhnya kalau kandungan Al Quran itu ditatap selalu dengan kefahaman dan keimanan, Insya-Allah hati akan terdidik untuk tambah beriman dan bertaqwa.
4. BERDOA
Berdoa juga adalah ibadah, juga sumber iman dan pergantungan diri kepada Allah. Orang-orang yang tidak mahu berdoa kepada Allah sebenarnya sombong dengan Allah. Bukankah terlalu banyak hajat, keinginan dan harapan kita yang hanya mungkin tercapai dengan pertolongan Allah? Kalau begitu, berdoalah. Adukan semua masalah kepada Allah dan gantungkan harapan penuh kepadaNya. Berdoalah di tempat-tempat dan di waktu- waktu yang di “kabul doa” dengan hati yang penuh khusyuk, mengharap dan yakin serta sabar, insya- Allah ia akan menjadi sumber ketenangan dan kebahagiaan. Sebab sudah fitrah manusia apabila ia dalam kesusahan ia akan mengalami ketegangan fikiran dan perasaan. Satu-satunya cara mengubat penyakit ini ialah dengan mengadu, mengharap dan menyandar- kan diri kepada suatu kuasa yang boleh menolong- nya menyelesaikan masalah itu. Kerana itu, Islam mengajar doa. Sebab hanya Allah-lah kuasa mutlak yang layak dan mampu ber- buat begitu. Faedah berdoa ialah jiwa yang lemah akan jadi kuat, hati yang susah jadi senang dan perasaan yang gelisah jadi tenang.
Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: Berfikir satu saat itu lebih baik daripada ibaduh setahun. Anjuran berfikir bertujuan menyedarkan manusia tentang sifat wujud Allah dan Maha Kuasanya Allah. Perkara-perkara yang elok difikirkan ialah tentang diri sendiri. Allah mulakan kejadian kita hanya daripada setitik air mani. Harga setitik air mani adalah lebih rendah daripada harga sebiji padi kalaulah Allah tidak menanamkannya di dalam rahim perempuan. Tidak juga akan berharga kalau Allah tidak memelihara, menghidupkannya dengan memberi segala keperluan untuk tinggal di dalam rahim. Belum juga akan berharga sekiranya Allah tidak memudahkan baginya keluar ke atas bumi. Dan belum juga akan berharga kalau Allah tidak besarkan serta diberi akal fikiran. Dengan akal yang Allah kurniakan manusia jadi raja, menteri, hulubalang, pengawal keselamatan, ahli fikir, professor, doktor, juruteknik, jurutera, pensya rah, guru dan lain-lain yang pandai, kuat, kaya dan hidup lepas bebas. Dengan akal fikiran, manusia telah dapat meratakan gunung, membelah angkasa, menyelami laut an dan memperkosa bumi semahu-mahunya. Tetapi tidak selamanya begitu. Kita tidak akan boleh sema hu-mahunya dan tidak selama yang kita kehendaki. Kita mesti mati. Kenapa tidak dihalang mati itu? Tidak mungkin, sepertilah tidak mungkinnya kita mendatangkan diri kita ke dunia ini dahulu.
Firman Allah dalam Al Quran: Allah, Dialah yang menciptakan kamu daripada keadaan lemah kemudian Dia menjadikan kumu sesudah lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan(kamu) sesudah kuat itu lemah (kernbali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa. (Ar Rum: 54) Sesudah mati, Allah berjanji untuk menghidup kan dan membangkitkan kita kembali di hari Qiamat. Apakah alasan untuk tidak percaya akan janji Allah itu? Siapakah kita untuk menolak kedatangannya? Firman Allah: Tidaklah(susah) menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) melainkan hanya seperti (mencipta dan membangkitkan) satu jiwa sahaja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(Luqman: 28)
Fikirkan pula nikmat-nikmat Allah saat ini. Mata, telinga, kaki, tangan semuanya yang sangat penting untuk keperluan hidup, Allah kurniakan tanpa menagih bayaran satu sen pun daripada kita. Walhal harga sepasang kaki palsu sudah beribu-ribu ringgit, gigi palsu juga mahal. Maka apalagi mata, telinga, hati, lidah dan akal yang Allah kurniakan, tentunya memang tidak ternilai. Dengan apa hendak dibalas pemberian yang begitu besar? Fikirkan pula apakah sudah kita berterimakasih kepada Allah? Sudahkah kita tunaikan suruhan-Nya? Sudahkah kita berhenti daripada membuat perkara-perkara yang dilarang-Nya? Sudah cukupkah bakti kita sebagai hamba untuk membalas kemurahan dan kasih sayang Allah pemelihara kita itu?
Bersabda Rasulullah SAW: Tiga perkara ini, sesiapa yang memilikinya akan mendapat kemanisan iman: menyintai Allah dan Rasul lebih daripada lainnya, mencintai seseorang semata-mata kerana Allah, benci kembali kepada kekufuran sepertimana benci dicampak ke Neraka. (Riwayat: Ahmad, Al Bukhari dan Muslim, At Tarmizi, An Nasai dan Ibnu Majah)
Diceritakan, telah meninggal seorang abid lalu Allah memanggilnya untuk diberitahu bahawa dia akan dimasukkan ke syurga sebagai satu kemurahan dan rahmat Allah kepadanya. Mendengarkan itu, si abid merasa tidak puas hati kerana ia dapat ke syurga hanya melalui belas kasihan Allah sedangkan di dunia dia begitu kuat ibadah. Si abid lalu memohon dimasukkan ke syurga yang setimpal dengan amal ibadahnya yang banyak itu. Allah SWT memerintahkan malaikat menghitung dan menilai ibadah si abid itu. Bila selesai, Allah mengumumkan bahawa ibadah-ibadah yang dibuat oleh si abid itu tidakpun cukup untuk membayar harga sebelah matanya. Bagaimana untuk mendapatkan syurga? Si abid pun tersipu-sipu lalu memohon agar berpeluang masuk ke syurga. Demikian satu contoh menunjukkan nilai amal bakti kita ini masih belum sepadan dengan pembe rian Allah pada kita, malah kalaupun setiap saat dari umur kita, kita gunakan untuk menghambakan diri kepada Allah pun belum padan. Apalagi kalau seseorang yang sombong, engkar dan derhaka kepada Allah.
Sesuai sangatiah Allah lontarkan dalam api dan tersiksa selama-lamanya. Lihat pula beras yang kita jadikan nasi. Dapatkah pokok padi itu tumbuh dengan sendiri kalau Allah tidak diturunkan hujan dan kalau tanah tidak dire kahkan supaya biji yang didalam tanah itu dapat menembus naik untuk mendapatkan cahaya matahari?
Dapatkah manusia membuat air?
Dapatkah manusia melubangi tanah dengan sehalus-halusnya hingga akar pokok itu dapat menjalar mencari makanan dan minumannya?
Manusia menanam, tetapi siapa yang menumbuhkannya?
Sesudah berfikir dan membuat kesimpulan, patutlah hati terus celik, nampak kewujudan, kemurahan dan kekuasaan Allah SWT. Sepatutnya hati akan menyedarkan akal tentang perlunya Allah itu disembah. Hati selanjutnya akan mengarahkan kaki, tangan dan seluruh anggota lahir menunaikan perintah Allah dan berhenti daripada mengerjakan larangan-Nya. Kalau tidak begitu, patut sangat ditangisi kerana butanya hati yang sebenarnya lebih parah daripada buta mata. Kemudian dongakkan muka ke langit. Lihat matahari yang naik dan turun, memberi panas dan menjadikan waktu yang bermusim-musim. Bulan yang kecil dan besar, menjadikan malam kadang-kadang gelap dan kadang-kadang-terang, menjadikan air laut pasang dan surut. Lihat bintang-bintang yang berkerdipan menghiasi langit berseri-seri. Lihat semua itu dan sebutlah Allah. Resapkan di hati berapa besar kuasanya Dia dan pemurahnya Dia.Dengan itu mudah-mudahan lembutlah hati kita untuk tunduk menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah. Bersabda Rasulullah SAW maksudnya: Siapa yang mendongak ke langit melihat bulan dan bintang kemudian terasa betapa kuasanya Allah, muka sebanyak bilangan bintang-bintangnya itulah dosanya diampunkan.
Seseorang yang melihat alam kemudian berfikir tentang Allah lalu terasa kehebatan Allah hingga lembut hatinya, terus mahu tunduk menyembah Allah dengan sedar dan khusyuk, itulah manusia yang sempurna. Dia sedar dirinya sebagai barang ciptaan Allah maka ia mahu menyerahkan kembali pemberian itu kepada Allah. Berjayalah dia di dunia dan akhirat. Di dalam Al Quran Allah berulang-ulang kali menyuruh manusia berfikir, menggunakan akal yang diberikan untuk menyaksikan wujud dan perkasanya Allah. Firman-Nya: Tidakkah kamu Perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan (untuk kepentinganmu) apa yang di langit dan di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmut-Nya lahir dun batin. Dan sebahagian manusia masih ada yang membantah tentang keesaan Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan kitab yang memberi penerangan. (Luqman: 20)
Firman Allah dalam Surah Ar-Rum: Dan di antara kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan mera- sa tenteram kepadanya dan dijadikannya di antara kamu kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu sebagai bahan renungan lagi kaum yang berfikir. (Ar Rum: 21) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak (menguasai bumi). (Ar Rum: 20) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nyd ialah penciptaan langit dan bumi dan begitu juga berlain-lainan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu sebagai bahan renungan bagi orang-orang yang mengetahui. (Ar Rum: 22) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengar. (Ar Rum: 23) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan dan Dia menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergu nakan akalnya. (Ar Rum: 24) Dan di antara tanda-tanda ke kuasaan-Nya ialah terbinanya langit dan bumi dengan perintah-Nya. Kemudian apabila Dia memanggilmu dengan sekali panggilan dari bumi, ketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).(Ar Rum: 25)
Seperkara lagi yang patut difikirkan ialah tentang dosa kita kepada Allah dan sesama manusia. Berapa banyak dosa kita kepada Allah dan sesama manusia? Selamatkah kita daripada siksaan dan kemurkaan Allah di dunia dan di Akhirat? Mampukah kita berhadapan dengan Munkar dan Nakir di dalam kubur nanti? Tahankah kita dengan bakaran api Neraka? Fikirkan itu selalu, insya-Allah akan melembutkan hati. Kemudian terapkan keyakinan yang sungguh- sungguh bahawa mati itu benar, memasuki liang kubur itu adalah benar, soalan Munkar dan Nakir itu adalah benar. Melintasi Siratul Mustaqim itu benar, pembalasan siksa Neraka dan nikmat Syurga adalah benar belaka. Pasti berlaku tanpa syak dan ragu. Sekiranya penerangan itu diulang-ulang setiap hari, insya-Allah hati akan dimasuki iman yang waja yang tidak mudah digoyangkan walau dengan ribut taufan yang kuat dan dahsyat. Usaha lain yang baik dibuat untuk mendapatkan iman ialah berpuasa sunat, berjuang, berjihad, bersedekah, menziarahi orang sakit atau jenazah dan lain-lain lagi. Kalau amalan-amalan itu dilakukan mengikut adab dan tujuan yang dianjurkan syariat, semuanya akan menambahkan iman. Perlu pula diingatkan bahawa setiap dosa sama ada kecil apalagi besar ialah perosak dan peruntuh iman.
Rasulullah SAW bersabda: Bukanlah seseorang yang berzina ketika berzina seorang mukmin. (Riwayat Al Bukhari dan Muslim)
Ertinya seseorang yang sedang berzina itu rosak dan hilanglah imannya. Jadi bagi orang yang betul- betul mahu memelihara dan meningkatkan imannya janganlah melakukan dosa. Kalau terbuat, cepatcepat istighfar, menyesal dan taubat. Iman juga boleh berkurang sesudah naik atau boleh naik sesudah turun. Inilah sifat iman kita iman orang ilmu. Sebab itu supaya tidak mengalami penurunan, iman mesti dibaja selalu dengan cara-cara yang banyak dihuraikan di atas.
Sesiapa yang rajin, selamatlah ia, sebaliknya sesiapa yang cuai akan terimalah akibatnya. Saya tegaskan bahawa ibadah-ibadah di atas mesti dilakukan dengan khusyuk dan tawadhuk. Kalau tidak, ibadah itu tidak akan bererti apa-apa. Umpama orang yang lapar mengambil nasi hanya untuk dimain-main tanpa disuapkan ke mulut. Akan hilang- kah laparnya? Begitulah ibadah, kalau tidak dihayati, roh tidak akan memperolehi apa-apa. Lebih baik tidak sembahyang sunat kalau gopoh-gapah. Sudahlah kita tidak beradab dengan Allah, kesan sembahyang pada hati itu pula tidak ada. Tetapi dengan ibadah-ibadah yang khusyuk kita akan membiasakan hati untuk:
• Membesarkan Allah,
• Mengenal Allah,
• Menghina diri dan malu dengan Allah,
• Takut ancaman Allah dan harap nikmat Allah,
• Terasa diawasi oleh Allah,
• Terasa gerun dan hebat dengan Allah dan cinta kepada-Nya.
Bila sudah masuk perasaan-perasaan begitu dalam hati dengan sendirinya hati kita akan beramal baik:
1. Bila kita menerima nasib buruk, kita akan redha sebab kita yakin Allah yang mentakdirkannya dan Allah cukup adil, pengasih dan setiap takdir-Nya adalah membawa kebaikan dan bukan untuk menganiaya dan menyeksakan kita. Lagi pun nasib buruk itu hanya satu manakala nikmat-nikmat lain pula tidak terhitung banyaknya.
2. Bila datang ujian kita akan sabar. Allah menguji kita atas dua maksud:
A. Untuk menghapuskan dosa. Kita memang berdosa sama ada disedari atau tidak. Jadi patutlah diuji untuk ingatkan kita bahwa kejahatan itu jangan dibuat lagi. Balasan di dunia pun rasanya tidak tahan apalagi balasan Neraka. Bagaimanapun kita terimalah balasan (ujian Allah itu) dengan tenang sambil mengharapkan ujian itu akan berakhir dan dosa kita terampun dan kita akan tenang semula.
B. Untuk meninggikan darjat kita. Kita cukup suka kalau dapat naik pangkat. Jadi kalau ada ujian-ujiian Allah yang bermaksud menguji kesabaran kita supaya dinaikkan darjat kita maka patutlah sangat kita terima, sabar dan senang hati dengannya.
3. Bila datang nikmat Allah sama ada lahir atau batin, kita akan bersyukur. Kita akan rasa keselesaan lahir kita dan ketenangan jiwa kita semuanya pemberian Allah (kuasa Allah dan nikmat daripada-Nya) .Kita tidak akan dapat mengadakan sendiri tanpa izin dan pertolongan Allah. Sebab itu kita sentiasa rasa berterima kasih kepada Allah. Perasaan itu menolong kita untuk ingat serta cinta kepada Allah serta redha kepada kehendak-Nya di samping membanyakkan ibadah-ibadah yang disukai-Nya serta ingin mengorbankannya kepada Allah sebagai tanda syukur kepada-Nya.
4. Setiap kali selesai berusaha, berikhtiar dan beribadah kepada Allah, kita akan menyerahkannya kepada Allah sebagai hak mutlak-Nya untuk ditentukan hasilnya baik atau buruk, jaya atau gagal. Hatta diri kita ini berada dalam tangan-Nya. Kita serah kepada-Nya dan baik sangka kepada-Nya untuk diaturkan mengikut kehendak-Nya juga.
5. Setiap kali kita buat dosa, kita akan takut kepada Allah. Hukuman Allah di dunia dan di Akhirat pasti berjalan kepada sesiapa yang berdosa. Maka hendaklah kita bertaubat (menyesal dan berjanji tidak akan membuatnya lagi). Kemudian, harapkan pula pengampunan Allah kerana Allah adalah Tuhan yang Maha Pemaaf, Maha Sopan Santun dan Lemah-Lembut.
6. Kita akan sentiasa beradab dan malu dengan Allah yakni sentiasa menunaikan kehendak-Nya dengan penuh takut, rindu, harap dan cinta kepada- Nya dan cukup malu untuk sombong kepada-Nya, membelakangkan-Nya dan menjauhi-Nya. Ertinya kita sentiasa tawadhuk dengan Allah, khusyuk, berhati- hati, bimbang dan cemas kalau-kalau tersilap dengan Allah.
7. Kita juga akan sentiasa merenung dan menyesali diri, apakah kita sudah mendapat keredhaan Allah dan keampunan daripada-Nya. Kita yang selalu lalai, cuai dan lemah serta berdosa ini, layakkah mendapat keredhaan dan pengam- punan-Nya? Masa ibadah kita terlalu pendek dibandingkan dengan masa kita berbual-bual kosong, berangan-angan fikir hendak luaskan dunia kita, bermegah-megah dengan harta, anak dan pengikut dan lain-lain kelalaian lagi.
8. Layakkah kita ini masuk ke dalam Syurga? Belum pernah tercabut roma kita kerana berjuang di jalan Allah sedang ahli syurga seperti Nabi dan para sahabat pernah tercabut gigi, pecah muka, remuk tulang dan hilang nyawa kerana berjuang mempertahankan agama Allah. Pengorbanan apa yang telah kita buat yang kehebatannya mampu menebus kita dari api neraka?
9. Setiap kali apa-apa yang kita ingini, tidak kita perolehi, kita akan redha sebab kita sedar bukan kita yang menunaikan hajat tetapi Allah. Dialah yang memberi rezeki dan menyempitkannya. Sebab itu kita tenang, kita redha dan sabar dengan kehendak Allah. Kita rasa lemah, kita tidak mampu menunaikan hajat sendiri tanpa bantuan Allah dan kita rasa malu pula untuk tidak redha dengan Allah. Siapa kita? Nyawa yang masih ada ini pun Allah punya. Kalau Allah matikan kita lagi teruk. Semuanya terlepas. Kerana itu kita rasa tidak mengapalah nikmat yang sedikit itu Allah tidak beri. Kita hanya boleh meminta bukan memaksa. Meminta sifat hamba dan memaksa itu sifat tuan. Kalaulah perasaan-perasaan (amalan-amalan batin) itu tidak ada dalam jasad batin kita, itu tanda- nya mujahadah kita tidak kuat dan ibadah kita tidak sampai matlamatnya (untuk mendidik jiwa) . Kenalah ditambah usaha lagi. Kalau ibadah cukup dan sampai matlamat, kita akan jadi orang yang bahagia, tenang dan selamat daripada sakit jiwa. Bukan kerana kita kaya, ternama dan terhormat, tetapi kerana hati kita puas dengan apa yang ada:
• Sakit pun bahagia apa lagi sihat
• Miskin pun bahagia apalagi kaya
• Seorang pun bahagia apalagi kalau berpengi kut
• Dihina pun bahagia apa lagi dipuja. Tetapi kalau hati yang tidak bersih (tidak kenal Allah), tidak berhakikat (tasawuf), dia tidak akan rasa bahagia, dia tidak pernah puas dengan nasibnya:
• Kaya pun tidak bahagia apalagi kalau miskin
• Sihat pun tidak bahagia apalagi kalau sakit
• Disanjung pun tidak bahagia apalagi kalau dihina
• Ada pengikut pun tidak bahagia apalagi kalau keseorangan.
Orang yang boleh mendapat kebahagiaan sebenarnya hanyalah orang yang mempunyai tasawuf (kerohanian) yang tinggi. Merekalah yang membangunkan dan mendapatkan syurga untuk dunia dan Akhirat mereka. Amalan-amalan mereka lahir dan batin menyela- matkan mereka di dunia dan Akhirat. Hati mereka yang selamat di dunia itu jugalah yang akan selamat di Akhirat. Merekalah yang mendapat kemanisan iman, kelazatan beribadah kerana hatinya benar-benar cinta Allah dan Rasul dan benci kepada mungkar dan maksiat. Bersabda Rasulullah SAW: Tiga perkara ini, sesiapa yang memilikinya akan mendapat kemanisan iman: 1. Menyintai Allah dan Rasul lebih daripada lainnya. 2. Mencintai seseorang semata-mata kerana Allah. 3. Benci kembali kepada kekufuran sepertimana benci dicampak ke Neraka. (Riwayat: Ahmad, Al Bukhari dan Muslim, At Tarmizi, An Nasai dan Ibnu Majah)
Bila mendapat kemanisan iman, penderitaan menjadi kecil dan dunia tidak ada ruang dalam hatinya. Hatinya asyik dengan Allah. Ini berlaku pada sahabat-sahabat Rasulullah. Bilal, waktu dijemur di tengah panas serta diazab untuk dipaksa kembali kepada kekufuran, dengan tenang dia menjawab, “Ahad, Ahad.” Azab tidak terasa azab lagi. Ini juga berlaku pada seorang sahabat. Untanya dicuri orang di waktu malam semasa sedang bersembahyang. Dia tidak menghentikan sembahyangnya. Dia terasa kemanisan iman dan ibadah hingga lupa bertindak terhadap pencuri itu. Cerita lain, ada dua orang sahabat yang Rasulullah lantik mengawal tentera Muslimin di satu peperangan di waktu malam. Seorang tidur sementara seorang lagi jaga danbersembahyang. Tiba-tiba datang spy musuh, dan ternampaklah kedua sahabat tadi lalu ia menarik busar panah dan memanah sahabat yang sedang sembahyang. Sahabat itu tidak memutuskan sembahyangnya. Dipanah lagi, sampailah kali ketiga barulah dibangunkan sahabatnya dan berkata, “Kalau tidak takut menimpa umat Islam nescaya aku tidak berhenti sembahyang.”
Begitulah kemanisan iman yang dirasai.
Subscribe to:
Posts (Atom)